Selasa, 30 April 2013


A.      Nahdhatul Ulama (NU)
1.      Sejarah berdirinya
             Nahdhatul Ulama pada waktu berdirinya ditulis dengan ejaan lama Nahdlatoel Oelama (NO), didirikan di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 31 Januari 1926 M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344 H. Tokoh pendirinya ialah KH. Hasyim Asy’Ari dengan didukung oleh para tokoh alim ulama yang di antaranya yaitu:
a.       KH. Abdul Wahab Hasbullah
b.      KH. Bisri Jombang
c.       KH. Ridwan Semarang
d.      KH. Nawawi Pasuruan
e.       KH. R. Asnawi Kudus
f.       KH. R. Hambali Kudus
g.      K. Nakhrawi Malang
h.      KH. M. Alwi Abdul Aziz
i.        KH. Doromuntaha Bangkalan, dan lain-lain.[1]    
             Dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumber-sumbernya, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan madzhabiy (bermazhab):
a.       Di bidang aqidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori Abul Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H/944 M). Dalam konteks ini, NU memahami hakikat Ahlussunnah wal Jamaah sebagai ajaran Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW. bersama para sahabatnya.
b.      Di bidang fiqih, NU mengikuti salah satu mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah an-Nu’man (80-150 H/700-767 M), Malik bin Anas (93-179 H/713-795 M), Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H/764-820 M), dan Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M).
c.       Di bidang tasawuf NU mengikuti antara lain al-Junaid al-Baghdadi (w.297 H.) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M).[2]
             Pada mulanya NU merupakan organisasi keagamaan, akan tetapi dikarenakan sebagai organisasi yang lahir dan tumbuh pada masa menghebatnya perjuangan pergerakan nasional, maka NU tidak dapat terlepas dari langkah-langkah yang berisi dan berjiwa pergerakan anti penjajahan, atau terlibat dalam bidang politik di antaranya:
a.       Menolak subsidi yang ditawarkan pemerintah untuk madrasah NU dan menolah kerja rodi yang dibebankan kepada bangsa Indonesia.
b.      Menolak rencana ordonasi perkawinan tercatat
c.       Menolak diadakan milisi
d.      Mendukung tuntutan berparlemen
e.       Mengadakan usaha-usaha sosial dalam masyarakat
f.       Mendidik mental beragama di antaranya mendirikan pondok pesantren.
             Motivasi utama berdirinya NU adalah untuk mengorganisasikan potensi dan peranan ulama pesantren yang sudah ada, untuk ditingkatkan dan dikembangkan secara luas, yang bagi NU digunakan sebagai wadah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah ulama pesantren di dalam tugas pengabdian yang tidak terbatas kepada masalah kepesantrenan dan kegiatan ritual Islam saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar para ulama lebih peka terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi dan masalah-masalah kemasyarakatan pada umumnya.[3]


2.      Tujuan dan Usaha
           Sebelum menjadi partai politik, NU bertujuan memegang tegug salah satu mazhab dari mazhab yang empat (Syafi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi) serts mengerjakan apa-apa yang menjadi kemaslahatan untuk agama Islam.
           Untuk mencapai tujuan tersebut, maka organisasi NU melakukan usaha-usaha sebagai berikut:
a.       Mengadakan silaturrahim di antara ulama-ulama yang bermazhab tersebut di atas.
b.      Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahlussunnah wal Jama’ah atau kitab-kitan ahli bid’ah.
c.       Menyiarkan agama Islam berdasarkan mazhab tersebut dengan jalan yang baik.
d.      Berusaha memperbanyak madrasah-madrasah yang berasaskan agama Islam.
e.       Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan mesjid-mesjid, surau-surau, dan pondok-pondok, anak yatim dan fakir miskin.
f.       Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syariat agama Islam.
           Berdasarkan usaha-usaha di atas, tampaknya pada mulanya NU (sebelum menjadi partai politik) merupakan perkumpulan sosial keagamaan yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam.[4] Untuk itu, NU ikut serta mempertinggi kecerdasan dan budi pekerti masyarakat Indonesia dengan cara mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting. Pada masa pemerintah Belanda dan penjajah Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren, mengadakan dakwah dan pengajian-pengajian dan lain-lainnya.
           Tanggal 22 Oktober 1945, tiga bulan setelah Indonesia merayakan kemerdekaan, NU mengeluarkan resolusi jihad yang berisi ajakan kepada umat Islam untuk mempertahankan tanah airnya yang merdeka. Dalam resolusi tersebut menyebutkan bahwa jihad untuk mempertahankan tanah air Indonesia adalah fardhu ‘ain, tiap-tiap muslim wajib jihad di mana saja berada. Resolusi ini kenyataannya mendapatkan sambutan yang baik dan hangat dari kalangan umat Islam.[5]
           Untuk memperkuat posisi dan perjuangan umat Islam, pada maka kongres umat Islam di Yogyakarta tanggal 7 November 1945 di ambil keputusan bahwa Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dijelmakan menjadi partai politik Islam di Indonesia. Di Masyumi, NU menjadi anggota istimewa dan pimpinan NU (KH. Hasyim Asy’ari) menjadi ketua Masyumi. Masyumi merupakan badan federasi pergerakan umat Islam dan berusaha dalam rangka perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.[6]
           Namun NU pada tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi melalui keputusan kongresnya pada tanggal 26 april-1 mei 1952 di Palembang. Perbedaan kepentingan politik antarkelompok dalam Masyumi yang berupa pendistribusian kekuasaan adalah faktor-faktor yang cukup berpengaruh, di samping ketidakmampuan para pemimpin Masyumi melakukan negosiasi dan kompromi antaranggota. Jika dilihat dari latar belakang masing-masing individu yang ada dalam Masyumi, secara umum dapat dikatakan bahwa politisi dan pemimpin NU terdiri atas ulama atau mereka yang merupakan alumni pesantren dan kalaupun ada yang berpendidikan barat jumlahnya sedikit. Sementara kalangan non-NU memandang rendah lulusan pesantren. Inilah yang berpengaruh terhadap kurang harmonisnya hubungan antara anggota Masyumi dari NU dan kelompok lain.[7] Mulai saat itu, NU berpisah dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik dan mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Dengan demikian, NU setelah menjadi parta politik di samping Masyumi, PSII dan Perti, maka NU bukan hanya mengurusi madrasah-madrasah, mengadakan pengajian-pengajian, melainkan juga memperjuangkan cita-cita politiknya dengan turut serta dalam pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Ketika menjadi partai politik, NU dalam Anggaran Dasarnya menyatakan sebagai berikut:
a.       Menegakkan syariat Islam dengan berhaluan salah satu dari mazhab yang empat (Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali).
b.      Melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, usaha yang dilakukan adalah:
1)   Menggiatkan usaha-usaha kebajikan (sosial).
2)   Mempererat perhubungan di antara umat islam, terutama ulamanya.
3)   Menyadarkan umat Islam dalam tata kenegaraan.
4)   Mengadakan kerja sama dengan organisasi lain dan golongan lain dalam usaha mewujudkan masyarakat Islam.
5)   Memperjuangkan tujuan NU dalam badan-badan pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam segala lapangan masyarakat.[8]
6)   Menyiarkan agama dengan tabligh, kursus-kursus dan penerbitan.
7)   Menggiatkan amar ma’ruf nahi munkar dengan sebaik-baiknya.
8)   Mendirikan dan mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran Islam.[9]
            Begitulah perjalanan NU dalam historisnya, yang pada awalnya dibentuk bukan untuk berpolitik, namun dikarenakan kondisi pada waktu itu, memaksa NU untuk terjun ke panggung politik, dan bergabung dengan Masyumi, berdiri sendiri sebagai partai politik, sampai dengan difusikannya partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang membuat NU kembali kepada fungsinya semula sebagai gerakan sosial keagamaan dengan semboyan “Kembali kepada Jiwa 1926”.
            Dewasa ini, NU bergerak di bidang sosial dan pendidikan agama menurut paham yang diyakini yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan usaha-usaha ini, maka NU mempunyai banyak sekali Pondok Pesantren dan madrasah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, terutama di daerah-daerah pedesaan yang pada umumnya mereka mempunyai tradisi keagamaan yang sangat kuat. Di samping itu NU juga mempunyai sekolah-sekolah umum dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi.
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran formal ini, NU membentuk satu bagian khusus yang menanganinya yaitu yang disebut Ma’arif, di mana tugasnya adalah untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada di bawah naungan NU.
Berdasarkan hasil Rapat Kerja Ma’arif yang diselenggarakan pada tahun 1978, disebutkan tentang program-program kerja Ma’arif, antara lain:
a.       Pemantapan sisteem pendidikan Ma’arif, meliputi:
1)      Tujuan pendidikan Ma’arif
a)      Menumbuhkan jiwa pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi anak didik sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.
b)      Menanamkan sikap terbuka, watak mandiri, kemampuan bekerja sama dengan pihak untuk lebih baik, keterampilan menggunakan ilmu dan teknologi, yang kesemuanya adalah perwujudan pengabdian kepada Allah SWT.
c)      Menciptakan sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai sebuah kesatuan.
d)     Menanamkan penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam sebagai ajaran yang dinamis.
2)      Penataan kembali orientasi pendidikan Ma’arif, dari orientasi pencapaian pengetahuan scholastik yang diakhiri dengan pemberian ijazah, ke orientasi kemampuan melakukan kerja nyata di bidang kemanusiaan dan kemasyarakatan.
3)      Mengaitkan pelajaran agama di sekolah-sekolah Ma’arif dengan persoalan-persoalan hukum, lingkungan hidup, solidaritas sosial, wiraswasta dan sebagainya.
4)      Mengembangkan watak kultural ke-NU-an.
5)      Secara makro, memberikan porsi yang lebih besar terhadap pendidikan nonformal.
b.      Peningkatan organisasi Ma’arif
c.       Penyediaan data dan informasi tentang sekolah-sekolah Ma’arif.
d.      Penerbitan
e.       Peningkatan mutu guru Ma’arif.[10]
          
B.       Masyumi
            Masyumi merupakan singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia, berdiri di Jakarta pada masa pendudukan tentara Jepang tahun 1943 di bawah pimpinan KH. M. Mansur sebagai ketua dan Wahid Hasyim sebagai wakil ketua.[11]
            Masyumi dipandang sebagai pengganti MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Pembubaran MIAI pada bulan Oktober 1943 dilakukan Jepang karena organisasi ini didirikan atas prakarsa kaum muslimin sendiri, sebagai suatu federasi organisasi-organisasi Islam. Para pemimpin organisasi itu mempunyai latar belakang sikap anti kolonial dan tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Atau dengan kata lain, MIAI bermula dengan sikap anti Belanda, kemudian bersikap anti asing, dan karena itu mungkin sekali menjadi anti Jepang. Serta alasan Jepang menggantikan MIAI dengan Masyumi adalah karena dua organisasi Islam yang terpenting tidak menjadi anggota MIAI, yaitu NU dan Muhammadiyah.[12]
            Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka pada bulan November 1945 diadakanlah kongres umat Islam Indonesia bertempat di Yogyakarta. Saat itu lahirlah satu partai politik baru dengan nama Masyumi. Dalam kongres itu diputuskan bahwa:
1.      Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia
2.      Masyumi-lah yang akan memperjuangkan nasib (politik) umat Islam Indonesia.[13]
      Kemudian dilakukanlah ikrar bersama di antara mereka yang isinya hanya mengakui Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Semua perkumpulan atau organisasi Islam non politik dijadikan anggota istimewa dalam Masyumi. Partai-partai politik Islam yang telah berdiri sebelum proklamasi kemerdekaan ditiadakan dan dilebur menjadi Masyumi.[14]
      Pada awal berdiri masyumi, hanya empat organisasi yang masuk masyumi yaitu; Muhammadiyah, NU, perikatan ulama islam, dan persatuan umat islam. Setelah itu barulah organisasi islam yang lainnya ikut bergabung ke Masyumi antara lain persatuan islam (bandung), al-irsyad (Jakarta), Al-jamiatul Washliyah dan Al-ittihadiyah (dari sumatera utara), selain itu pada tahun 1949 setelah rakyat pendudukan belanda mempunyai hubungan leluasa dengan rakyat di daerah yang dikuasai oleh RI, banyak di antara organisasi islam di daerah pendudukan itu bergabung dengan masyumi. Mudahnya persyaratan untuk masuknya organisasi Islam ke dalam Masyumi menjadi salah satu penyebab banyaknya organisasi-organisasi Islam yang masuk ke dalamnya, namun yang lebih penting mengenai alasan mereka masuk kedalam Masyumi di karenakan semua pihak merasa perlu bergabung dan memperkuat barisan islam.
           Hampir di seluruh wilayah Indonesia terdapat cabang Masyumi atau organisasi-organisasi Islam yang bergabung dengan Masyumi. Faktor penyebab Masyumi cepat berkembang, ialah peranan ulama masing-masing daerah serta ukhuwah Islamiah yang relatif tinggi pada masa-masa sesudah revolusi.
           Setelah diproklamirkannya kemerdekaan RI, Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia, namun dengan kemayoritasan itu tidak dibarengi dengan adanya pandangan yang sama terhadap Islam dan Politik, Dalam hal ini ada dua pandangan masyarakat Indonesia mengenai hubungan tersebut, yang pertama bahwa, Islam merupakan agama yang lengkap, yang mengatur semua sendi kehidupan, termasuk di dalamnya, mengatur hubungan dengan politik (Negara). Sedangkan pandangan kedua, bahwa Islam sebagai sebuah panduan dan kode etik dalam kehidupan bernegara, bahkan juga terdapat pemisahan total antara keduanya.
           Masyumi, yang didirikan oleh hampir semua organisasi Islam, baik pasca maupun pra kemerdekaan RI, adalah sebagai partai yang berniat merealisasikan pandangan Islam dan Politik di Indonesia. Lahirnya partai ini ditujukan guna untuk menjaga dan memperjuangkan kepentingan Islam.[15]
           
C.       Pembaharuan Kontemporer
            Perkembangan masyarakat Indonesia dalam bentuk pemikiran dan gerakan pembaharuan, kecuali yang berbentuk formal, tidaklah muncul atau terhenti pada satu patokan tahun, melainkan biasanya mengandung proses awal dan akhir yang menyebar dalam jarak waktu yang relatif panjang.
            Walaupun Delian Noer menyusun buku Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, ini bukan berarti bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia baru dimulai tahun itu atau dengan tahun 1911 sebagai tahun berdirinya Sarikat Dagang Islam dan tahun 1912 sebagai tahun berdirinya organisasi Muhammadiyah. Namun sesungguhnya tahun-tahun tersebut merupakan tahun-tahun resmi berdirinya organisasi-organisasi Islam. Pemikiran dan gerakan, baik berupa ajakan ataupun anjuran yang dilakukan kelompok maupun perseorangan pada umumnya lebih awal dari tahun-tahun resmi tersebut.
            Dan agaknya gerakan pembaharuan Islam ini lebih kelihatan di masa kemerdekaan dibanding masa sebelum kemerdekaan. Hal ini dikarenakan adanya kebebasan yang sama-sama dicapai dengan golongan lain bangsa dan karena tantangan-tantangan yang dihadapi gerakan pembaharuan tersebut lebih pula bersifat bebas dan terbuka.
            Membicarakan mengenai gerakan pembaharuan Islam kontemporer, sesungguhnya tidaklah mudah. Karena harus mampu menciptakan konstruksi-konstruksi teoritik yang memadai dan pengetahuan empiris yang dapat menjelaskan pertama-tama mengenai Islam kontemporer sehingga dapat mengidentifikasi gerakannya. Untuk menentukan kebutuhan tersebut tampaknya tidak mudah dan bahkan mungkin dalam taraf penjelajahan.
            Guna keperluan pemahaman terhadap gerakan Islam kontemporer di Indonesia, kajian ini akan bertolak dari tinjauan terhadap pandangan yang memahami Islam di Indonesia dari dua paradigma, yaitu Islam tradisional dan Islam modernis.
            Akar gerakan Islam kontemporer adalah situasi di mana perbedaan-perbedaan paham antara kedua aliran keagamaan (tradisional-modernis) seringkali berkembang menjadi perselisihan yang tajam. Perselisihan yang berkepanjangan ini, di samping semakin mengecilnya pengaruh simpati terhadap organisasi (wadah) umat Islam Indonesia, juga telah menimbulkan ketidakpastian bagi sejumlah komunitas Islam dalam memilih alternatif panutan keagamaannya, khususnya yang menyangkut sikap-sikap politik.
            Situasi demikian inilah yang kemudian mendorong munculnya gerakan Islam kontemporer di Indonesia yang bervariasi. Adapun contoh dari gerakan Islam kontemporer Indonesia, di antaranya ialah Gerakan Islam Jamaah, Gerakan Kelompok Islam Isa Bugis, Gerakan Jamaah Islam Durani, dan sebagainya.
            Ketiga gerakan tersebut merupakan sebagian saja dari gerakan Islam kontemporer di Indonesia. Apabila dilihat dari posusu alur gerakan keagamaan yang ada yang masih berpola gerakan aliran keagamaan dan politik maka gerakan-gerakan yang telah disebutkan di atas akan terlihat hanya sebagai gerakan sempalan belaka. Akan tetapi, bila lebih dilihat dari kaca mata pola-pola aplikasi dan aktivitas keagamaannya, maka sesungguhnya gerakan-gerakan tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari pola baru gerakan keagamaan yang pernah berkembang di Indonesia.
            Sekalipun gerakan-gerakan tersebut tidak muncul lagi dalam bentuk organisasi karena dilarang oleh pemerintah, namun pemikiran dan pemahaman ajaran yang pernah dikembangkan oleh gerakan-gerakan tersebut telah banyak menimbulkan dampak sosial bagi penganutnya waktu itu dan pada masyarakat Islam lainnya.[16]




[1] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam. (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997) h.133
[2] Ahmad Zahro. Tradisi Intelektual NU. (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 2004) h.19
[3] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995) h. 106-107
[4] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam... h.107-108
[5] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan Pemikiran..h.134
[6] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam...h.110
[7] Ahmad Zahro. Tradisi Intelektual NU. h.57
[8] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan Pemikiran...h.135
[9] Yusran Asmuni. Dirasah Islamiah III : Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1998) h.102
[10] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam...h.111-112
[11] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan Pemikiran..h. 136
[12] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam...,h.67
[13] Abdul Hamid. Yaya. Pemikiran Modern Dalam Islam. (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010).
[14] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Pembaharuan Pemikiran...h.136
[15] http://zackyardan.jimdo.com/arsip/dialog/pembaharuan-muhammadiyah-persis-nu-dan-masyumi
[16] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Pembaharuan Pemikiran...h.137-138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar