A.
Nahdhatul
Ulama (NU)
1.
Sejarah
berdirinya
Nahdhatul
Ulama pada waktu berdirinya ditulis dengan ejaan lama Nahdlatoel Oelama (NO),
didirikan di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 31 Januari 1926 M bertepatan
dengan tanggal 16 Rajab 1344 H. Tokoh pendirinya ialah KH. Hasyim Asy’Ari
dengan didukung oleh para tokoh alim ulama yang di antaranya yaitu:
a.
KH. Abdul
Wahab Hasbullah
b.
KH. Bisri
Jombang
c.
KH. Ridwan
Semarang
d.
KH. Nawawi
Pasuruan
e.
KH. R. Asnawi
Kudus
f.
KH. R.
Hambali Kudus
g.
K. Nakhrawi
Malang
h.
KH. M. Alwi
Abdul Aziz
i.
KH.
Doromuntaha Bangkalan, dan lain-lain.[1]
Dalam
memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumber-sumbernya, NU mengikuti paham
Ahlussunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan madzhabiy
(bermazhab):
a.
Di bidang
aqidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori Abul Hasan
al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H/944 M).
Dalam konteks ini, NU memahami hakikat Ahlussunnah wal Jamaah sebagai ajaran
Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW.
bersama para sahabatnya.
b.
Di bidang fiqih,
NU mengikuti salah satu mazhab yang empat, yaitu Abu Hanifah an-Nu’man (80-150
H/700-767 M), Malik bin Anas (93-179 H/713-795 M), Muhammad bin Idris
asy-Syafi’i (150-204 H/764-820 M), dan Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M).
c.
Di bidang
tasawuf NU mengikuti antara lain al-Junaid al-Baghdadi (w.297 H.) dan Abu Hamid
al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M).[2]
Pada mulanya NU merupakan
organisasi keagamaan, akan tetapi dikarenakan sebagai organisasi yang lahir dan
tumbuh pada masa menghebatnya perjuangan pergerakan nasional, maka NU tidak
dapat terlepas dari langkah-langkah yang berisi dan berjiwa pergerakan anti
penjajahan, atau terlibat dalam bidang politik di antaranya:
a.
Menolak subsidi
yang ditawarkan pemerintah untuk madrasah NU dan menolah kerja rodi yang
dibebankan kepada bangsa Indonesia.
b.
Menolak
rencana ordonasi perkawinan tercatat
c.
Menolak
diadakan milisi
d.
Mendukung
tuntutan berparlemen
e.
Mengadakan
usaha-usaha sosial dalam masyarakat
f.
Mendidik
mental beragama di antaranya mendirikan pondok pesantren.
Motivasi utama berdirinya NU adalah
untuk mengorganisasikan potensi dan peranan ulama pesantren yang sudah ada,
untuk ditingkatkan dan dikembangkan secara luas, yang bagi NU digunakan sebagai
wadah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah ulama pesantren di dalam tugas
pengabdian yang tidak terbatas kepada masalah kepesantrenan dan kegiatan ritual
Islam saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar para ulama lebih peka terhadap masalah-masalah
sosial, ekonomi dan masalah-masalah kemasyarakatan pada umumnya.[3]
2.
Tujuan dan
Usaha
Sebelum
menjadi partai politik, NU bertujuan memegang tegug salah satu mazhab dari
mazhab yang empat (Syafi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi) serts mengerjakan apa-apa
yang menjadi kemaslahatan untuk agama Islam.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka organisasi NU melakukan usaha-usaha sebagai
berikut:
a.
Mengadakan
silaturrahim di antara ulama-ulama yang bermazhab tersebut di atas.
b.
Memeriksa
kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab itu
termasuk kitab-kitab Ahlussunnah wal Jama’ah atau kitab-kitan ahli bid’ah.
c.
Menyiarkan
agama Islam berdasarkan mazhab tersebut dengan jalan yang baik.
d.
Berusaha
memperbanyak madrasah-madrasah yang berasaskan agama Islam.
e.
Memperhatikan
hal-hal yang berhubungan dengan mesjid-mesjid, surau-surau, dan pondok-pondok,
anak yatim dan fakir miskin.
f.
Mendirikan
badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang
tidak dilarang oleh syariat agama Islam.
Berdasarkan
usaha-usaha di atas, tampaknya pada mulanya NU (sebelum menjadi partai politik)
merupakan perkumpulan sosial keagamaan yang mementingkan pendidikan dan
pengajaran Islam.[4]
Untuk itu, NU ikut serta mempertinggi kecerdasan dan budi pekerti masyarakat
Indonesia dengan cara mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang dan
ranting. Pada masa pemerintah Belanda dan penjajah Jepang, NU tetap memajukan
pesantren-pesantren, mengadakan dakwah dan pengajian-pengajian dan
lain-lainnya.
Tanggal
22 Oktober 1945, tiga bulan setelah Indonesia merayakan kemerdekaan, NU
mengeluarkan resolusi jihad yang berisi ajakan kepada umat Islam untuk
mempertahankan tanah airnya yang merdeka. Dalam resolusi tersebut menyebutkan
bahwa jihad untuk mempertahankan tanah air Indonesia adalah fardhu ‘ain,
tiap-tiap muslim wajib jihad di mana saja berada. Resolusi ini kenyataannya
mendapatkan sambutan yang baik dan hangat dari kalangan umat Islam.[5]
Untuk
memperkuat posisi dan perjuangan umat Islam, pada maka kongres umat Islam di
Yogyakarta tanggal 7 November 1945 di ambil keputusan bahwa Masyumi (Majelis
Syura Muslimin Indonesia) dijelmakan menjadi partai politik Islam di Indonesia.
Di Masyumi, NU menjadi anggota istimewa dan pimpinan NU (KH. Hasyim Asy’ari)
menjadi ketua Masyumi. Masyumi merupakan badan federasi pergerakan umat Islam
dan berusaha dalam rangka perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.[6]
Namun
NU pada tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi melalui keputusan kongresnya
pada tanggal 26 april-1 mei 1952 di Palembang. Perbedaan kepentingan politik
antarkelompok dalam Masyumi yang berupa pendistribusian kekuasaan adalah
faktor-faktor yang cukup berpengaruh, di samping ketidakmampuan para pemimpin
Masyumi melakukan negosiasi dan kompromi antaranggota. Jika dilihat dari latar
belakang masing-masing individu yang ada dalam Masyumi, secara umum dapat
dikatakan bahwa politisi dan pemimpin NU terdiri atas ulama atau mereka yang
merupakan alumni pesantren dan kalaupun ada yang berpendidikan barat jumlahnya
sedikit. Sementara kalangan non-NU memandang rendah lulusan pesantren. Inilah
yang berpengaruh terhadap kurang harmonisnya hubungan antara anggota Masyumi
dari NU dan kelompok lain.[7]
Mulai saat itu, NU berpisah dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai
politik dan mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Dengan demikian,
NU setelah menjadi parta politik di samping Masyumi, PSII dan Perti, maka NU
bukan hanya mengurusi madrasah-madrasah, mengadakan pengajian-pengajian,
melainkan juga memperjuangkan cita-cita politiknya dengan turut serta dalam
pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Ketika menjadi partai politik, NU dalam
Anggaran Dasarnya menyatakan sebagai berikut:
a.
Menegakkan
syariat Islam dengan berhaluan salah satu dari mazhab yang empat (Syafi’i,
Maliki, Hanafi dan Hambali).
b.
Melaksanakan
berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut,
usaha yang dilakukan adalah:
1)
Menggiatkan
usaha-usaha kebajikan (sosial).
2)
Mempererat
perhubungan di antara umat islam, terutama ulamanya.
3)
Menyadarkan
umat Islam dalam tata kenegaraan.
4)
Mengadakan
kerja sama dengan organisasi lain dan golongan lain dalam usaha mewujudkan
masyarakat Islam.
5)
Memperjuangkan
tujuan NU dalam badan-badan pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam
segala lapangan masyarakat.[8]
6)
Menyiarkan
agama dengan tabligh, kursus-kursus dan penerbitan.
7)
Menggiatkan
amar ma’ruf nahi munkar dengan sebaik-baiknya.
8)
Mendirikan
dan mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran Islam.[9]
Begitulah
perjalanan NU dalam historisnya, yang pada awalnya dibentuk bukan untuk
berpolitik, namun dikarenakan kondisi pada waktu itu, memaksa NU untuk terjun
ke panggung politik, dan bergabung dengan Masyumi, berdiri sendiri sebagai
partai politik, sampai dengan difusikannya partai-partai Islam ke dalam Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), yang membuat NU kembali kepada fungsinya semula
sebagai gerakan sosial keagamaan dengan semboyan “Kembali kepada Jiwa 1926”.
Dewasa
ini, NU bergerak di bidang sosial dan pendidikan agama menurut paham yang
diyakini yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan usaha-usaha ini, maka NU
mempunyai banyak sekali Pondok Pesantren dan madrasah yang tersebar di seluruh
pelosok tanah air, terutama di daerah-daerah pedesaan yang pada umumnya mereka
mempunyai tradisi keagamaan yang sangat kuat. Di samping itu NU juga mempunyai
sekolah-sekolah umum dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi.
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran
formal ini, NU membentuk satu bagian khusus yang menanganinya yaitu yang
disebut Ma’arif, di mana tugasnya adalah untuk membuat perundangan dan program
pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada di bawah
naungan NU.
Berdasarkan hasil Rapat Kerja Ma’arif
yang diselenggarakan pada tahun 1978, disebutkan tentang program-program kerja
Ma’arif, antara lain:
a.
Pemantapan
sisteem pendidikan Ma’arif, meliputi:
1)
Tujuan
pendidikan Ma’arif
a)
Menumbuhkan jiwa
pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi anak
didik sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.
b)
Menanamkan
sikap terbuka, watak mandiri, kemampuan bekerja sama dengan pihak untuk lebih
baik, keterampilan menggunakan ilmu dan teknologi, yang kesemuanya adalah
perwujudan pengabdian kepada Allah SWT.
c)
Menciptakan
sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai
sebuah kesatuan.
d)
Menanamkan
penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam sebagai ajaran yang
dinamis.
2)
Penataan
kembali orientasi pendidikan Ma’arif, dari orientasi pencapaian pengetahuan
scholastik yang diakhiri dengan pemberian ijazah, ke orientasi kemampuan
melakukan kerja nyata di bidang kemanusiaan dan kemasyarakatan.
3)
Mengaitkan pelajaran
agama di sekolah-sekolah Ma’arif dengan persoalan-persoalan hukum, lingkungan
hidup, solidaritas sosial, wiraswasta dan sebagainya.
4)
Mengembangkan
watak kultural ke-NU-an.
5)
Secara makro,
memberikan porsi yang lebih besar terhadap pendidikan nonformal.
b.
Peningkatan
organisasi Ma’arif
c.
Penyediaan
data dan informasi tentang sekolah-sekolah Ma’arif.
d.
Penerbitan
e.
Peningkatan
mutu guru Ma’arif.[10]
B.
Masyumi
Masyumi
merupakan singkatan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia, berdiri di Jakarta
pada masa pendudukan tentara Jepang tahun 1943 di bawah pimpinan KH. M. Mansur
sebagai ketua dan Wahid Hasyim sebagai wakil ketua.[11]
Masyumi
dipandang sebagai pengganti MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Pembubaran
MIAI pada bulan Oktober 1943 dilakukan Jepang karena organisasi ini didirikan
atas prakarsa kaum muslimin sendiri, sebagai suatu federasi
organisasi-organisasi Islam. Para pemimpin organisasi itu mempunyai latar
belakang sikap anti kolonial dan tidak mau bekerja sama dengan pemerintah
kolonial. Atau dengan kata lain, MIAI bermula dengan sikap anti Belanda,
kemudian bersikap anti asing, dan karena itu mungkin sekali menjadi anti
Jepang. Serta alasan Jepang menggantikan MIAI dengan Masyumi adalah karena dua
organisasi Islam yang terpenting tidak menjadi anggota MIAI, yaitu NU dan
Muhammadiyah.[12]
Setelah
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka pada bulan November 1945 diadakanlah
kongres umat Islam Indonesia bertempat di Yogyakarta. Saat itu lahirlah satu
partai politik baru dengan nama Masyumi. Dalam kongres itu diputuskan bahwa:
1.
Masyumi
adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia
2.
Masyumi-lah
yang akan memperjuangkan nasib (politik) umat Islam Indonesia.[13]
Kemudian dilakukanlah ikrar bersama di antara mereka yang
isinya hanya mengakui Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam di
Indonesia. Semua perkumpulan atau organisasi Islam non politik dijadikan
anggota istimewa dalam Masyumi. Partai-partai politik Islam yang telah berdiri
sebelum proklamasi kemerdekaan ditiadakan dan dilebur menjadi Masyumi.[14]
Pada awal berdiri masyumi, hanya empat organisasi yang masuk
masyumi yaitu; Muhammadiyah, NU, perikatan ulama islam, dan persatuan umat
islam. Setelah itu barulah organisasi islam yang lainnya ikut bergabung ke
Masyumi antara lain persatuan islam (bandung), al-irsyad (Jakarta), Al-jamiatul
Washliyah dan Al-ittihadiyah (dari sumatera utara), selain itu pada tahun 1949
setelah rakyat pendudukan belanda mempunyai hubungan leluasa dengan rakyat di
daerah yang dikuasai oleh RI, banyak di antara organisasi islam di daerah
pendudukan itu bergabung dengan masyumi. Mudahnya persyaratan untuk masuknya
organisasi Islam ke dalam Masyumi menjadi salah satu penyebab banyaknya
organisasi-organisasi Islam yang masuk ke dalamnya, namun yang lebih penting
mengenai alasan mereka masuk kedalam Masyumi di karenakan semua pihak merasa
perlu bergabung dan memperkuat barisan islam.
Hampir
di seluruh wilayah Indonesia terdapat cabang Masyumi atau organisasi-organisasi
Islam yang bergabung dengan Masyumi. Faktor penyebab Masyumi cepat berkembang,
ialah peranan ulama masing-masing daerah serta ukhuwah Islamiah yang relatif
tinggi pada masa-masa sesudah revolusi.
Setelah
diproklamirkannya kemerdekaan RI, Islam merupakan agama mayoritas yang dianut
oleh masyarakat Indonesia, namun dengan kemayoritasan itu tidak dibarengi
dengan adanya pandangan yang sama terhadap Islam dan Politik, Dalam hal ini ada
dua pandangan masyarakat Indonesia mengenai hubungan tersebut, yang pertama
bahwa, Islam merupakan agama yang lengkap, yang mengatur semua sendi kehidupan,
termasuk di dalamnya, mengatur hubungan dengan politik (Negara). Sedangkan
pandangan kedua, bahwa Islam sebagai sebuah panduan dan kode etik dalam
kehidupan bernegara, bahkan juga terdapat pemisahan total antara keduanya.
Masyumi,
yang didirikan oleh hampir semua organisasi Islam, baik pasca maupun pra
kemerdekaan RI, adalah sebagai partai yang berniat merealisasikan pandangan
Islam dan Politik di Indonesia. Lahirnya partai ini ditujukan guna untuk
menjaga dan memperjuangkan kepentingan Islam.[15]
C.
Pembaharuan
Kontemporer
Perkembangan
masyarakat Indonesia dalam bentuk pemikiran dan gerakan pembaharuan, kecuali
yang berbentuk formal, tidaklah muncul atau terhenti pada satu patokan tahun,
melainkan biasanya mengandung proses awal dan akhir yang menyebar dalam jarak
waktu yang relatif panjang.
Walaupun
Delian Noer menyusun buku Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,
ini bukan berarti bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia baru dimulai
tahun itu atau dengan tahun 1911 sebagai tahun berdirinya Sarikat Dagang Islam
dan tahun 1912 sebagai tahun berdirinya organisasi Muhammadiyah. Namun
sesungguhnya tahun-tahun tersebut merupakan tahun-tahun resmi berdirinya
organisasi-organisasi Islam. Pemikiran dan gerakan, baik berupa ajakan ataupun
anjuran yang dilakukan kelompok maupun perseorangan pada umumnya lebih awal
dari tahun-tahun resmi tersebut.
Dan
agaknya gerakan pembaharuan Islam ini lebih kelihatan di masa kemerdekaan
dibanding masa sebelum kemerdekaan. Hal ini dikarenakan adanya kebebasan yang
sama-sama dicapai dengan golongan lain bangsa dan karena tantangan-tantangan
yang dihadapi gerakan pembaharuan tersebut lebih pula bersifat bebas dan
terbuka.
Membicarakan
mengenai gerakan pembaharuan Islam kontemporer, sesungguhnya tidaklah mudah.
Karena harus mampu menciptakan konstruksi-konstruksi teoritik yang memadai dan pengetahuan
empiris yang dapat menjelaskan pertama-tama mengenai Islam kontemporer sehingga
dapat mengidentifikasi gerakannya. Untuk menentukan kebutuhan tersebut
tampaknya tidak mudah dan bahkan mungkin dalam taraf penjelajahan.
Guna
keperluan pemahaman terhadap gerakan Islam kontemporer di Indonesia, kajian ini
akan bertolak dari tinjauan terhadap pandangan yang memahami Islam di Indonesia
dari dua paradigma, yaitu Islam tradisional dan Islam modernis.
Akar
gerakan Islam kontemporer adalah situasi di mana perbedaan-perbedaan paham
antara kedua aliran keagamaan (tradisional-modernis) seringkali berkembang
menjadi perselisihan yang tajam. Perselisihan yang berkepanjangan ini, di
samping semakin mengecilnya pengaruh simpati terhadap organisasi (wadah) umat
Islam Indonesia, juga telah menimbulkan ketidakpastian bagi sejumlah komunitas
Islam dalam memilih alternatif panutan keagamaannya, khususnya yang menyangkut
sikap-sikap politik.
Situasi
demikian inilah yang kemudian mendorong munculnya gerakan Islam kontemporer di
Indonesia yang bervariasi. Adapun contoh dari gerakan Islam kontemporer
Indonesia, di antaranya ialah Gerakan Islam Jamaah, Gerakan Kelompok Islam Isa
Bugis, Gerakan Jamaah Islam Durani, dan sebagainya.
Ketiga
gerakan tersebut merupakan sebagian saja dari gerakan Islam kontemporer di
Indonesia. Apabila dilihat dari posusu alur gerakan keagamaan yang ada yang
masih berpola gerakan aliran keagamaan dan politik maka gerakan-gerakan yang
telah disebutkan di atas akan terlihat hanya sebagai gerakan sempalan belaka.
Akan tetapi, bila lebih dilihat dari kaca mata pola-pola aplikasi dan aktivitas
keagamaannya, maka sesungguhnya gerakan-gerakan tersebut dapat dipandang
sebagai bagian dari pola baru gerakan keagamaan yang pernah berkembang di
Indonesia.
Sekalipun
gerakan-gerakan tersebut tidak muncul lagi dalam bentuk organisasi karena
dilarang oleh pemerintah, namun pemikiran dan pemahaman ajaran yang pernah
dikembangkan oleh gerakan-gerakan tersebut telah banyak menimbulkan dampak
sosial bagi penganutnya waktu itu dan pada masyarakat Islam lainnya.[16]
[1] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan Pemikiran Modern
di Dunia Islam. (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997) h.133
[2] Ahmad Zahro. Tradisi Intelektual NU. (Yogyakarta : LkiS
Yogyakarta, 2004) h.19
[3] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangannya. (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995)
h. 106-107
[4] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam... h.107-108
[5] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan Pemikiran..h.134
[6] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam...h.110
[7] Ahmad Zahro. Tradisi Intelektual NU. h.57
[8] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan Pemikiran...h.135
[9] Yusran Asmuni. Dirasah Islamiah III : Pengantar Studi Pemikiran dan
Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
1998) h.102
[10] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam...h.111-112
[11] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Perkembangan Pemikiran..h.
136
[12] Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam...,h.67
[13] Abdul Hamid. Yaya. Pemikiran Modern Dalam Islam. (Bandung : CV
Pustaka Setia, 2010).
[14] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Pembaharuan Pemikiran...h.136
[15] http://zackyardan.jimdo.com/arsip/dialog/pembaharuan-muhammadiyah-persis-nu-dan-masyumi
[16] Ahmad Syaukani. Maman Abd. Djaliel. Pembaharuan Pemikiran...h.137-138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar