BAB II
PEMBAHASAN
MASA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
Selama dua dua setengah abad
sepeninggalan Rasulullah SAW, ortodoksi sunni mengalami proses kristalisasi
setelah bergulat dengan aliran Mu’tazilah (rasionalisme dalam islam), aliran
syi’ah, dan kelompok-kelompok khwarij. Pergulatan ini sesungguhnya terus masih
berlangsung sampai abad ke-13. Di sisi kenyataan merajalelanya bid’ah dan
khurafat, fabrikasi dan supertisi dikalangan umat telah membuat sebagian umat
buta terhadap ajaran-ajaran islam orisinal, yakni ajaran-ajaran yang tertera
dalam Al-Qur’an dan sunnah yang shahih.
Dalam situasi umat yang dekeden seperti
itulah tampil seorang pembaru islampada peralihan abad ke-13 dan ke-14, yaitu
ibnu Taimiyah. Tokoh yang sering dianggap sebagai bapak tajdid (reformasi
Islam) ini melontarkan kritik tajam, bukan saja mengarah kepada sufisme dan
para folosof yang mendewakan rasionalisme, melainkan juga ke arah teologi
‘Asy’ari, yang cenderung pasrah terhadap kehendak Tuhan bahkan cenderung
fatalistis. Kritik-kritik Ibnu Taimiyah selalu dibarengi dengan seruannya agar
umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah, dan memahami kembali kedua
sumber Islam itu dengan ijtihad.
Pintu ijtihad yang seolah-olah sudah ditutup pada waktu itu didobrak oleh
Ibnu Taimiyah, sambil menandaskan bahwa rekonstruksi Islam hanya dapat
dilakukan dengan menghidupkan semangat ijtihad. Bapak tajdid ini berpendapat
bahwa manusia harus dapat memahami kehendak Allah sebagaimana termaktub dalam
Al-Qur’an dan sunnah. Seluruh perintah Allah yang apabila dipraktekkan oleh
manusia akan membawa manusia kepada kebahagiaan hakiki itu adalah apa yang
dinamakan syari’ah. Suatu masyarakat yang berusaha mengimplementasi syari’ah
dengan sendirinya menjadi masyarakat muslim. Untuk terlaksananya syari’ah itu,
masyarakat muslim perlu menyelenggarakan berbagai institusi, dan dalam hal ini
Negara merupakan institusi paling penting. Implementasi syari’ah berarti juga
ibadat kepada Allah. Dalam islam, ibadat kepada Allah merupakan tugas hidup
manusia, malahan penciptaan manusia didasarkan suatu hikmah agar manusia
melakukan ibadat kepada Allah.
Yand menarik dari rangkaian pemikiran
Ibnu Taimiyah adalah benang-merah keadilah sosial dan penekanan tugas-tugas
manusia sebagai makhluk sosial yang mengemban kewajiban kolektif untuk
menciptakan kesejahteraan bersama, bukan sekedar makhluk individudengan
tugas-tugas individualnya. Gagasan-gagasan Ibnu Taimiyah jelas sekali menembus
dan melampaui Islam-sejarah (historical Islam), dalam arti islam sebagaimana
dipraktekkan oleh umatnya, yang disana-sini telah mengalami distori,
penyimpangan, bahkan degenerasi; dan ia meyerukan supaya umat kembali
keajaran-ajaran islam-orisinal (ideal Islam). Professor Fazlur Rahman, salah
seorang pemikir Islam terkemuka dewasa ini, menilai bahwa gerakan-gerakan
reformasi Islam yang muncul pada abad-abad ke-17, ke-18 dan ke-19 pada dasarnya
menunjukkan karakteristik yang sama seperti gagasan pokok Ibnu Taimiyah, yakni
bahwa gerakan-gerakan itu mengedepankan rekonstruksi sosio-moral masyarakat
Islam dan sekaligus mengoreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan
mengabaikan masyrakat.[1]
Setelah
warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam diterima oleh bangsa Eropa dan umat
Islam sudah tidak memperhatikannya lagi maka secara berngsur-angsur telah
membangkitkan kekuatan di Eropa dan menimbulkan kelemahan di kelangan umat
Islam.
Sebenarnya
kesdaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum muslimin dari bangsa-bangsa
Eropa dalam berbagai bidang kehidupan ini, teleh timbul mulai abad ke- 1 H/ 17
M dengan kekalahan-kekalahan yang diterima oleh kerajaan Turki Usmani dalam
peperangan dengan negara-negara Eropa. Kekalahan- kekalahan tersebut mendorong
raja-raja dan pemuka-pemuka kerajaan untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan
mereka dan rahasia keunggulan lawan. Mereka mulai memperhatikan kemajuan yang
dicapai oleh Eropa, terutama Perancis yang merupakan pusat kemajuan kebudayaan
Eropa pada masa itu.[2]
Dalam
bidang pengembangan ilmu pengetahuan modern dari Barat, untuk pertam kali dalam
dunia Islam dibuka suatu percetakan di Istanbul pada tahun 1727 M, guna
mencetak berbagai macam buku ilmu pengetahuan yang diterjemahkan dari buku-buku
ilmu pengetahuan Barat. Di samping itu diadakannya percetakan al-Qur`an, dan
ilmu-ilmu pengetahuan agama lainya. Tetapi rupanya tantangan dari pihak Ulama
dan golongan tentara yang sudah ada sebelumnya, yang disebut pasukan Yaniseri,
terlalu kuat sehingga usaha pembaharuan tersebut tidak dapat berkembang.[3]
A.
Hal-Hal Yang Melatar Belakangi Pembaharuan Pendidikan
Islam
Terpuruknya nilai-nilai pendidikan Islam
sebagaimana diterangkan dimuka sesungguhnya lebih dilatarbelakangi oleh kondisi
internal Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu
kesatuan ilmu yang harus diperhatikan. Sehingga pada proses selanjutnya ilmu
pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh Barat yang pada waktu itu
tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis besar, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya
proses pembaharuan pendidikan Islam, yaitu:
Pertama, faktor kebutuhan fragmatis umat Islam yang
sangat memerlukan satu sistem pendidikan Islam yang betul-betul bisa dijadikan
rujukan dalam rangka mencetak menusia-manusia muslim yang berkualitas, setaqwa,
dan beriman kepada Allah.[4]
Kedua, Agama Islam sendiri melalui ayat suci
al-Qur`an banyak menyuruh atau menganjurkan umat Islam untuk salalu, berpikir,
dan bermetaforma; membaca dan menganalisis sesuatu untuk kemudian bisa
diterapkan atau bahkan bisa menciptakan hal yang baru dari apa yang kita lihat.[5]
Kedua faktor dai atas sesungguhnya lebih
merupakan faktor-faktor yang bisa
dilihat secara internal. Adanya kebutuhan umat akan kemajuan dan perbaikan
nasib dirinya bisa dikatakan sebagai faktor penentu timbulnya proses
pembaharuan pendidikan dalam Islam. Di samping agama Islam sendiri melalui
al-Qur`an sebagai sumber ajaranya banyak menganjurkan kepada umatnya untuk
selalu berinovasi, melakukan pembaharuan di segala bidang.
Secara umum gerakan pembaharuan Islam yang
muncul dari berbagai aliran dan wilayah yang berbeda memiliki beberapa premis
intelektual yang serupa. Peretama, Islam tidak dipermasalahkan atas dedikasi
yang diderita di dunia Islam. Hidup autentik sesuai dengan ajaran agamanya.
Kedua, Islam adalah agama pembaharuan menjadi niscaya untuk mengeluarkan umat
dari pri kehidupan yang pasif, aktif dan dinamis.[6]
Asas-asas pembaharuan
ini senantiasa ada. Dan upaya yang besar ialah melanjutkan berbuat kebijakan
dan berserah diri kepada kehendak Tuhan. Inilah misi muslihun yang diuraikan
dalam Al-Qur’an, dan menjadi tujuan islah sesudah masa Nabi Muhammad. Ini
merupakan upaya penataan atau pembangunan kembali sosio-moral yang menggunakan
patokan normative yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Patokan ini
terbebas dari pengaruh kondisi-kondisi dan lembaga-lembaga yang ada. Walaupun
para penjaga dan penafsir patokan khusus ini mungkin merupakan elit, keyataan
bahwa Al-Qur’an direkam dalam bentuk tetap dan tersedia bagi semua orang,
tersirat bahwa ia dapat digunakan sebagai dasar bagi suatu kritik yang mendalam
terhadap elit seperti itu, serta terhadap organisasi maupun lembaga-lembaga
sosial yang mereka kembangkan.
Patokan dasar
pertimbangan yang mengilhami perubahan dan pembaharuan dalam islam tidak
bergantung pada kondisi-kondisi waktu atau tempat. Tetapi, bentuk-bentuk
tertentu yang diambil oleh gerakan tajdid dan islah tetap mencerminkan sifat
masyarakat di mana kegiatan tersebut dilaksanakan, demikianlah, walaupun usaha
untuk menyesuaikan masyarakat dengan norma-norma yang ditetapkan Al-Qur’an dan
sunnah, pada umumnya merupakan unsure tetap dalam tradisi tajdid-islah, namun
peranan muslihun dan mujaddid akan berbeda-beda sesuai dengan konteks
sosialnya. Abad demi abad, sebagai akibatnya, arti konstetual dari upaya
pembaharuan moral telah berubah dan berkembang.[7]
B.
Pola- pola pembaharuan pendidikan Islam
Dengan memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan kemunduran umat
Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya, dan dengan memperhatikan
sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dialami ole bangsa-bangsa Eropa, maka
pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam.
Ketiga pola tersebut adalah: (1) pola pembaharuan pendidikan Islam yang
berorientasi kepada pola pendidikan modern di Eropa, (2) yang berorientasi dan
bertujuan untuk pemurnian kembali ajaran Islam, dan (3) yang berorientasi pada
kekeyaan dan sumber budaya bangsa masing-masing dan bersifat nasionalisme.[8]
C.
Tokoh dan sasaran pembaharuan pendidikan Islam
1. Wilayah Turki
Pembaharuan pendidika di dunia Islam perama
kali dimulai di kerajaan Turki Usmani. Faktor yang melatarbelakangi gerakan
pembaharuan pendidikan bermuala dari kekalahan-kekalahan kerajaan Usmani dalam
peperangan dengan Eropa. Kekalahan Turki pada
pertempuran di dekat Wina memakasa Turki menandatangani peranjian Carlowitz pada tahun 1699 M, yang berisi
penyerahan daerah Hungaria kepad Autria, daerah Podolia kepada Polandia, dan
daerah Azov kepada Rusia. Adapun tokoh yang mencoba melakukan upaya tersebut
adalah:
a. Sultan Ahmad III
Adanya kekalahan-kekalahan yang dialami
kerajaan Turki Usamani telah menyebabkan Sultan Ahmad III amat prihatin sembari
melakukan introspeksi kenapa kerajaan Turki selalu kalah. Dari itu, tumbuh
sikap baru dalam diri kerajaan Turki Usmani untuk bersikap lebih arif terhadap
keberadaan Barat. Barat tidak lagi dianggap sebagai musuh yang harus dijauhi.
Menurut Ahmad III bila umat Islam ingin maju, maka harus menghargai dan mau
menjalin kerja sama untuk mengejar ketertinggalan Islam dengan Barat.
b.
Sultan Mahmud II
Upaya
pembahruan yang dilakukan Sultan Mahmud II merupakan upaya kelanjutan yang
pernah dilakukan Sultan Ahmad III. Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang
coba dilakukannya adalah dengan mencoba memperbaiki kondisi sistem pendidikan
madrasah yang pada saat itu hanya
mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dengan mencoba memasukkan ilmu
pengetahuan umum. Namun, sebagaimana halnya di dunia Islam lainya, sulit sekali
bagi Mahmud II untuk mengadakan perubahan kurikulum di madrasah dengan
mengembalikan pengetahuan umum. Maka, akhirnya madrasah tradisional dibiarkan
berjalan yang kemudian menjadi tanggung jawab ulam, tetapi di sampingnya
didirikan sekolah pengetahua umum.
Ide-ide
pembaharuan itu telah menunjukan adanya keseriusan Sultan Mahmud II memajukan
umat Islam Turki, dan beliau punya prinsip bahwa upaya pembaharuan tidak akan
pernah akan terwujud mana kala pondasi dasar yang menjadi tujuan pembaharuan,
yakni pola berpikir masyarakat belum berubah. Perubahan pola berpikir tersebut
tidak mungkin terwujud kalau kondisi pendidikan Islam sendiri belum diperbarui, baik tujuan, visi
dan orientasi, metodologi, maupun sistem pendidikan secara keseluruhan yang
menjadi acuan berhasil atau tidaknya proses pendidikan.
2.
Wilayah Mesir
Tokoh yang mencoba melakukan upaya pembaharuan
khususnya dalam pendidikan adalah Muhammad Ali Pasya dan Muhammad Abduh.
a. Muhammad Ali Pasya
Dia disebut juga pelopor pembaharuan dan bapak
pembangunan Mesir Modern. Walaupun tidak pandai menulis dan membaca,
Muhammad Ali Pasya sangat menyadari
pentingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi kemajuan suatu bangsa.
Untuk dalam pemerintahannya, ia mendirikan kementrian pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan, membuka
sekolah Teknik (1836), sekolah kedokteran (1827), sekolah apoteker (1829),
sekolah pertambangan (1834), sekolah Pertanian (1836), dan sekolah penerjemahan
(1836). Kebijakan dan gebrakan yang diambil Muhammad Ali Pasya lebih banyak
mengadopsi tata cara dan model yang
dilakukan Barat. Kecenderungan ini bisa dilihat dari model dan sistem
pendidikan yang diterapkan di Mesir, guru-gurunya bahkan tenaga ahli dalam
rangka memajukan pendidikan pun lebih
banyak di impor dari negara Barat.
Berbagi terobosan yang dilakukan Muhammad Ali
Pasya di Mesir telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap dunia
pendidika Islam. Gerakan pembaharuanya telah memperkenalkan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi Barat kepada Umat Islam, dan sampai pada wakunya dapat
menyingkap awan hitam yang menyelimuti pola pikir dan sikap keagamaan, yang
juga menjadi embrio kelahiran tokoh muslim, seperti Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Rifa`ah Badawi Raff al-Tahtawi, dan Hasan al-Bana yang berwawasan
berpengetahuan luas, modern dan tidak sempit.
b. Muhammad Abduh
Sosok Muhammad Abduh adalah salah satu
pembaharu di al-Azhar. Menurut pandanganya al-Azhar perlu dimasukkan ilmu-ilmu
modern agar ulama-ulama Islam mengerti kebudayaan modern dan dengan demikian
dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan yang timbul dalam zaman
modern.
Bagi Muhammad Abduh, yang harus diperjuangkan
dalam satu sitem pendidikan adalah pendidikan yang fungsional, yang meliputi
pendidikan universal bagi semua anak, laki- laki maupun perempuan. Semuanya
harus punya dasar membaca, menulis, berhitung dan harus mendapatkan pendidikan
agama. Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan
profesi yang dikehendaki pelajar. Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang
harus mendapat pendidikan umum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka.
Dalam sistem pendidikan Abduh, siswa sekolah
menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari syari`at, militer,
kedokteran, atau ingin bekerja pada
pemerintah, kurikulumnya meliputi Pengantar Pengetahuan, Seni Logika, Prinsip
Penalaran, Teks Tentang dalil Rasional, serta teks sejarah yang meliputi
berbagai penaklukkan dan penyebaran
Islam.
3. Wilayah India
Berbeda dengan Turki dan Mesir, pembaharuan pendidikan Islam di Indian
kelihatanya lebih banyak bertujuan menghilangkan diskriminasi pendidikan Islam
tradisionalis dengan pendidikan sekuler. Pembaharuan pendidikan Islam di India
lebih dilatarbelakangi oleh minimnya jumlah umat Islam seperlima umat Hindu di
India yang telah mendapatkan perlakuan tidak baik dari Inggris saat itu
menjajah India, oleh sebab itu dan dalam rangka menyelamatkan harkat, martabat
umat Islam maka perlu dilakukan upaya pembaharuan sikap yang fleksibel terhadap
penjajah saat itu.
Adapun yang menjadi tokoh pembaharu di India adalah Sayyid Akhmad Khan
(1817-1898 M), ia berpendapat bahwa peningkatan kedudukan umat Islam di India
dapat diwujudkan hanya dengan bekrja sama dengan Inggris. Oleh karena itu,
Akhmad Khan mengajak umat Islam India untuk bersikap loyal terhadap Inggris.
Satu di antara sakian banyak persoalan umat Islam India, adalah rendahnya mutu
pendidikan. Menurutnya, mutu pendidika umat Islam harus ditingkatkan dengan
menerapkan sistem modern yang cukup. Oleh karena itu, ia pertama kali
mendirikan lembaga pendidikan modern. Lembaga pendidikan yang pertama kali
didirikannya adalah Sekolah Inggris Muradabab pada tahun 1860 M. Pada tahun
1864 ia mendirikan Scientific Society untuk memperkenalkan sains Barat
kepada rakyat India, khususnya umat Islam India. Pada tahun syang sama juga ia
mendirikan sekolah Modern di Ghazipur, dan pada tahun 1868 ia membentuk Komite
pendidikan di beberapa daerah di India Utara.[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kami dapat mengambil
beberapa catatan sebagai berikut;
1. Adanya upaya pembaharuan pendidikan Islam
tentu tidak bisa lepas dari lemahnya kondisi pendidikan Islam saat itu. Oleh
karenanya, bagi kaum modernis, satu kelompok pembaharu yang lebih simpatik dan banyak mengadopsi tata cara
berpendapat bahwa Barat atau Eropalah satu-satunya kiblat yang bisa dijadikan
referensi demi perbaikan sistem pendidikan Islam.
2. Apa yang telah dilakukan pada pembaharu di
zaman klasik sebut saja Sultan Ahmad III, Sultal Mahmud II, Muhammad Ali Pasya,
Muhammad Abduh, dan Sayyid Akhmad Khan demi kemjuan Islam, merupakan wacana
yang harus kita kembangkan dan kita kaji secara terus-menerus.
3. Upaya pembaharuan pendidikan Islam yang telah
dilakukan para tokoh-tokoh di atasa, sesungguhnya lebih ditujukan kepada
sasaran pendidikan yang tentu disesuaikan dengan ide pembaharuan merekan.
DAFTAR PUSTAKA
Amien Rais, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung, 1994
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan
Bintangn Jakarta, 1982
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan
Bintangn, Jakarta, 1982
John L. Esposito (ed.), Dinamika
Kebangkitan Islam, Rajawali Press, Jakarta,1987
Suwito Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, 2005
Todh Siler, Buku Berfikir ala Einstein: Seratus Kiat
Menjadi Orang Genius, 2001
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi
Aksara, Jakarta, 1992
Tugas Kelompok:
MASA PEMBAHARUAN
PENDIDIKAN ISLAM
Diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas
Mata
kuliah : Sejarah Pendidikan Islam
Dosen: Asmawati, M. Pd
Oleh :
David
M. Raya Akbar
Rayawati
Rusna Mawaddah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PALANGKA RAYA TARBIYAH/PAI
TAHUN 2011 M/ 1432 H
BAB I
PENDAHULUAN
Kata Pengantar
Puji
syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena penyusunan makalah
ini dapat diselesaikan, dengan harapan
makalah ini dapat membantu proses pembelajaran.
Sholawat
serta salam senantiasa tercurah kepada keharibaan junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW, karena berkat bimbingan beliaulah kita sekarang hidup dalam Iman dan
Islam, sehingga kiranya kita dapat melanjutkan perjuangan risalah beliau hingga
akkhir hayat.
Makalah
ini disusun berkenaan dengan salah satu tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan
Islam. Dalam makalah ini penyusun akan membahas tentang masa pembaharuan
pendidikan Islam. Kami tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada segenap
pihak yang ikut terlibat membantu untuk kelancaran penyusunan makalah ini dan
terimakasih pula kami ucapakan kepada Ibu Asmawati, M,Pd sebagai dosen
pembimbing mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam, serta arahan dalam tekhnik
penyusunan makalah ini.
Semoga
apa yang telah kami kerjakan kiranya bermanfaat kepada kita semua, dan tak lupa
pula kami sangat mengharapkan sarah dan kritik yang bersifat membangun, agar
kami dapat melakukan perbaikan dalam penyusunan kedepan.
Palangka
Raya, Oktober 2011
Penyusun
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar