Jumat, 24 Februari 2012


BAB II
PEMBAHASAN
MASA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
Selama dua dua setengah abad sepeninggalan Rasulullah SAW, ortodoksi sunni mengalami proses kristalisasi setelah bergulat dengan aliran Mu’tazilah (rasionalisme dalam islam), aliran syi’ah, dan kelompok-kelompok khwarij. Pergulatan ini sesungguhnya terus masih berlangsung sampai abad ke-13. Di sisi kenyataan merajalelanya bid’ah dan khurafat, fabrikasi dan supertisi dikalangan umat telah membuat sebagian umat buta terhadap ajaran-ajaran islam orisinal, yakni ajaran-ajaran yang tertera dalam Al-Qur’an dan sunnah yang shahih.
Dalam situasi umat yang dekeden seperti itulah tampil seorang pembaru islampada peralihan abad ke-13 dan ke-14, yaitu ibnu Taimiyah. Tokoh yang sering dianggap sebagai bapak tajdid (reformasi Islam) ini melontarkan kritik tajam, bukan saja mengarah kepada sufisme dan para folosof yang mendewakan rasionalisme, melainkan juga ke arah teologi ‘Asy’ari, yang cenderung pasrah terhadap kehendak Tuhan bahkan cenderung fatalistis. Kritik-kritik Ibnu Taimiyah selalu dibarengi dengan seruannya agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah, dan memahami kembali kedua sumber Islam itu dengan ijtihad.
Pintu ijtihad yang seolah-olah  sudah ditutup pada waktu itu didobrak oleh Ibnu Taimiyah, sambil menandaskan bahwa rekonstruksi Islam hanya dapat dilakukan dengan menghidupkan semangat ijtihad. Bapak tajdid ini berpendapat bahwa manusia harus dapat memahami kehendak Allah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan sunnah. Seluruh perintah Allah yang apabila dipraktekkan oleh manusia akan membawa manusia kepada kebahagiaan hakiki itu adalah apa yang dinamakan syari’ah. Suatu masyarakat yang berusaha mengimplementasi syari’ah dengan sendirinya menjadi masyarakat muslim. Untuk terlaksananya syari’ah itu, masyarakat muslim perlu menyelenggarakan berbagai institusi, dan dalam hal ini Negara merupakan institusi paling penting. Implementasi syari’ah berarti juga ibadat kepada Allah. Dalam islam, ibadat kepada Allah merupakan tugas hidup manusia, malahan penciptaan manusia didasarkan suatu hikmah agar manusia melakukan ibadat kepada Allah.
Yand menarik dari rangkaian pemikiran Ibnu Taimiyah adalah benang-merah keadilah sosial dan penekanan tugas-tugas manusia sebagai makhluk sosial yang mengemban kewajiban kolektif untuk menciptakan kesejahteraan bersama, bukan sekedar makhluk individudengan tugas-tugas individualnya. Gagasan-gagasan Ibnu Taimiyah jelas sekali menembus dan melampaui Islam-sejarah (historical Islam), dalam arti islam sebagaimana dipraktekkan oleh umatnya, yang disana-sini telah mengalami distori, penyimpangan, bahkan degenerasi; dan ia meyerukan supaya umat kembali keajaran-ajaran islam-orisinal (ideal Islam). Professor Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Islam terkemuka dewasa ini, menilai bahwa gerakan-gerakan reformasi Islam yang muncul pada abad-abad ke-17, ke-18 dan ke-19 pada dasarnya menunjukkan karakteristik yang sama seperti gagasan pokok Ibnu Taimiyah, yakni bahwa gerakan-gerakan itu mengedepankan rekonstruksi sosio-moral masyarakat Islam dan sekaligus mengoreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan masyrakat.[1]
            Setelah warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam diterima oleh bangsa Eropa dan umat Islam sudah tidak memperhatikannya lagi maka secara berngsur-angsur telah membangkitkan kekuatan di Eropa dan menimbulkan kelemahan di kelangan umat Islam.
            Sebenarnya kesdaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum muslimin dari bangsa-bangsa Eropa dalam berbagai bidang kehidupan ini, teleh timbul mulai abad ke- 1 H/ 17 M dengan kekalahan-kekalahan yang diterima oleh kerajaan Turki Usmani dalam peperangan dengan negara-negara Eropa. Kekalahan- kekalahan tersebut mendorong raja-raja dan pemuka-pemuka kerajaan untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan mereka dan rahasia keunggulan lawan. Mereka mulai memperhatikan kemajuan yang dicapai oleh Eropa, terutama Perancis yang merupakan pusat kemajuan kebudayaan Eropa pada masa itu.[2]
            Dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan modern dari Barat, untuk pertam kali dalam dunia Islam dibuka suatu percetakan di Istanbul pada tahun 1727 M, guna mencetak berbagai macam buku ilmu pengetahuan yang diterjemahkan dari buku-buku ilmu pengetahuan Barat. Di samping itu diadakannya percetakan al-Qur`an, dan ilmu-ilmu pengetahuan agama lainya. Tetapi rupanya tantangan dari pihak Ulama dan golongan tentara yang sudah ada sebelumnya, yang disebut pasukan Yaniseri, terlalu kuat sehingga usaha pembaharuan tersebut tidak dapat berkembang.[3]
A.           Hal-Hal Yang Melatar Belakangi Pembaharuan Pendidikan Islam
Terpuruknya nilai-nilai pendidikan Islam sebagaimana diterangkan dimuka sesungguhnya lebih dilatarbelakangi oleh kondisi internal Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus diperhatikan. Sehingga pada proses selanjutnya ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan secara  komprehensif oleh Barat yang pada waktu itu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis besar,  ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan pendidikan Islam, yaitu:
Pertama, faktor kebutuhan fragmatis umat Islam yang sangat memerlukan satu sistem pendidikan Islam yang betul-betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak menusia-manusia muslim yang berkualitas, setaqwa, dan beriman kepada Allah.[4]
Kedua, Agama Islam sendiri melalui ayat suci al-Qur`an banyak menyuruh atau menganjurkan umat Islam untuk salalu, berpikir, dan bermetaforma; membaca dan menganalisis sesuatu untuk kemudian bisa diterapkan atau bahkan bisa menciptakan hal yang baru dari apa yang kita lihat.[5]
Kedua faktor dai atas sesungguhnya lebih merupakan  faktor-faktor yang bisa dilihat secara internal. Adanya kebutuhan umat akan kemajuan dan perbaikan nasib dirinya bisa dikatakan sebagai faktor penentu timbulnya proses pembaharuan pendidikan dalam Islam. Di samping agama Islam sendiri melalui al-Qur`an sebagai sumber ajaranya banyak menganjurkan kepada umatnya untuk selalu berinovasi, melakukan pembaharuan di segala bidang.
Secara umum gerakan pembaharuan Islam yang muncul dari berbagai aliran dan wilayah yang berbeda memiliki beberapa premis intelektual yang serupa. Peretama, Islam tidak dipermasalahkan atas dedikasi yang diderita di dunia Islam. Hidup autentik sesuai dengan ajaran agamanya. Kedua, Islam adalah agama pembaharuan menjadi niscaya untuk mengeluarkan umat dari pri kehidupan yang pasif, aktif dan dinamis.[6]
Asas-asas pembaharuan ini senantiasa ada. Dan upaya yang besar ialah melanjutkan berbuat kebijakan dan berserah diri kepada kehendak Tuhan. Inilah misi muslihun yang diuraikan dalam Al-Qur’an, dan menjadi tujuan islah sesudah masa Nabi Muhammad. Ini merupakan upaya penataan atau pembangunan kembali sosio-moral yang menggunakan patokan normative yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Patokan ini terbebas dari pengaruh kondisi-kondisi dan lembaga-lembaga yang ada. Walaupun para penjaga dan penafsir patokan khusus ini mungkin merupakan elit, keyataan bahwa Al-Qur’an direkam dalam bentuk tetap dan tersedia bagi semua orang, tersirat bahwa ia dapat digunakan sebagai dasar bagi suatu kritik yang mendalam terhadap elit seperti itu, serta terhadap organisasi maupun lembaga-lembaga sosial yang mereka kembangkan.
Patokan dasar pertimbangan yang mengilhami perubahan dan pembaharuan dalam islam tidak bergantung pada kondisi-kondisi waktu atau tempat. Tetapi, bentuk-bentuk tertentu yang diambil oleh gerakan tajdid dan islah tetap mencerminkan sifat masyarakat di mana kegiatan tersebut dilaksanakan, demikianlah, walaupun usaha untuk menyesuaikan masyarakat dengan norma-norma yang ditetapkan Al-Qur’an dan sunnah, pada umumnya merupakan unsure tetap dalam tradisi tajdid-islah, namun peranan muslihun dan mujaddid akan berbeda-beda sesuai dengan konteks sosialnya. Abad demi abad, sebagai akibatnya, arti konstetual dari upaya pembaharuan moral telah berubah dan berkembang.[7]
B.            Pola- pola pembaharuan pendidikan Islam
Dengan memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan kemunduran umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya, dan dengan memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dialami ole bangsa-bangsa Eropa, maka pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut adalah: (1) pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pendidikan modern di Eropa, (2) yang berorientasi dan bertujuan untuk pemurnian kembali ajaran Islam, dan (3) yang berorientasi pada kekeyaan dan sumber budaya bangsa masing-masing dan bersifat nasionalisme.[8]
C.                Tokoh dan sasaran pembaharuan pendidikan Islam
1.      Wilayah Turki
Pembaharuan pendidika di dunia Islam perama kali dimulai di kerajaan Turki Usmani. Faktor yang melatarbelakangi gerakan pembaharuan pendidikan bermuala dari kekalahan-kekalahan kerajaan Usmani dalam peperangan dengan Eropa. Kekalahan Turki pada  pertempuran di dekat Wina memakasa Turki menandatangani peranjian  Carlowitz pada tahun 1699 M, yang berisi penyerahan daerah Hungaria kepad Autria, daerah Podolia kepada Polandia, dan daerah Azov kepada Rusia. Adapun tokoh yang mencoba melakukan upaya tersebut adalah:
a.    Sultan Ahmad III
Adanya kekalahan-kekalahan yang dialami kerajaan Turki Usamani telah menyebabkan Sultan Ahmad III amat prihatin sembari melakukan introspeksi kenapa kerajaan Turki selalu kalah. Dari itu, tumbuh sikap baru dalam diri kerajaan Turki Usmani untuk bersikap lebih arif terhadap keberadaan Barat. Barat tidak lagi dianggap sebagai musuh yang harus dijauhi. Menurut Ahmad III bila umat Islam ingin maju, maka harus menghargai dan mau menjalin kerja sama untuk mengejar ketertinggalan Islam dengan Barat.
                   b. Sultan Mahmud II
                        Upaya pembahruan yang dilakukan Sultan Mahmud II merupakan upaya kelanjutan yang pernah dilakukan Sultan Ahmad III. Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang coba dilakukannya adalah dengan mencoba memperbaiki kondisi sistem pendidikan madrasah  yang pada saat itu hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dengan mencoba memasukkan ilmu pengetahuan umum. Namun, sebagaimana halnya di dunia Islam lainya, sulit sekali bagi Mahmud II untuk mengadakan perubahan kurikulum di madrasah dengan mengembalikan pengetahuan umum. Maka, akhirnya madrasah tradisional dibiarkan berjalan yang kemudian menjadi tanggung jawab ulam, tetapi di sampingnya didirikan sekolah pengetahua umum.
                        Ide-ide pembaharuan itu telah menunjukan adanya keseriusan Sultan Mahmud II memajukan umat Islam Turki, dan beliau punya prinsip bahwa upaya pembaharuan tidak akan pernah akan terwujud mana kala pondasi dasar yang menjadi tujuan pembaharuan, yakni pola berpikir masyarakat belum berubah. Perubahan pola berpikir tersebut tidak mungkin terwujud kalau kondisi pendidikan Islam  sendiri belum diperbarui, baik tujuan, visi dan orientasi, metodologi, maupun sistem pendidikan secara keseluruhan yang menjadi acuan berhasil atau tidaknya proses pendidikan.
2.         Wilayah Mesir
Tokoh yang mencoba melakukan upaya pembaharuan khususnya dalam pendidikan adalah Muhammad Ali Pasya dan Muhammad Abduh.
a.    Muhammad Ali Pasya
Dia disebut juga pelopor pembaharuan dan bapak pembangunan Mesir Modern. Walaupun tidak pandai menulis dan membaca, Muhammad  Ali Pasya sangat menyadari pentingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi kemajuan suatu bangsa. Untuk dalam pemerintahannya, ia mendirikan kementrian pendidikan  dan lembaga-lembaga pendidikan, membuka sekolah Teknik (1836), sekolah kedokteran (1827), sekolah apoteker (1829), sekolah pertambangan (1834), sekolah Pertanian (1836), dan sekolah penerjemahan (1836). Kebijakan dan gebrakan yang diambil Muhammad Ali Pasya lebih banyak mengadopsi tata cara dan model yang  dilakukan Barat. Kecenderungan ini bisa dilihat dari model dan sistem pendidikan yang diterapkan di Mesir, guru-gurunya bahkan tenaga ahli dalam rangka memajukan pendidikan pun lebih  banyak di impor dari negara Barat.
Berbagi terobosan yang dilakukan Muhammad Ali Pasya di Mesir telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap dunia pendidika Islam. Gerakan pembaharuanya telah memperkenalkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi Barat kepada Umat Islam, dan sampai pada wakunya dapat menyingkap awan hitam yang menyelimuti pola pikir dan sikap keagamaan, yang juga menjadi embrio kelahiran tokoh muslim, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Rifa`ah Badawi Raff al-Tahtawi, dan Hasan al-Bana yang berwawasan berpengetahuan luas, modern dan tidak sempit.
b.   Muhammad Abduh
Sosok Muhammad Abduh adalah salah satu pembaharu di al-Azhar. Menurut pandanganya al-Azhar perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern agar ulama-ulama Islam mengerti kebudayaan modern dan dengan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan yang timbul dalam zaman modern.
Bagi Muhammad Abduh, yang harus diperjuangkan dalam satu sitem pendidikan adalah pendidikan yang fungsional, yang meliputi pendidikan universal bagi semua anak, laki- laki maupun perempuan. Semuanya harus punya dasar membaca, menulis, berhitung dan harus mendapatkan pendidikan agama. Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapat pendidikan umum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka.
Dalam sistem pendidikan Abduh, siswa sekolah menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari syari`at, militer, kedokteran,  atau ingin bekerja pada pemerintah, kurikulumnya meliputi Pengantar Pengetahuan, Seni Logika, Prinsip Penalaran, Teks Tentang dalil Rasional, serta teks sejarah yang meliputi berbagai penaklukkan dan penyebaran  Islam.
3.    Wilayah India
Berbeda dengan Turki dan Mesir, pembaharuan pendidikan Islam di Indian kelihatanya lebih banyak bertujuan menghilangkan diskriminasi pendidikan Islam tradisionalis dengan pendidikan sekuler. Pembaharuan pendidikan Islam di India lebih dilatarbelakangi oleh minimnya jumlah umat Islam seperlima umat Hindu di India yang telah mendapatkan perlakuan tidak baik dari Inggris saat itu menjajah India, oleh sebab itu dan dalam rangka menyelamatkan harkat, martabat umat Islam maka perlu dilakukan upaya pembaharuan sikap yang fleksibel terhadap penjajah saat itu.
Adapun yang menjadi tokoh pembaharu di India adalah Sayyid Akhmad Khan (1817-1898 M), ia berpendapat bahwa peningkatan kedudukan umat Islam di India dapat diwujudkan hanya dengan bekrja sama dengan Inggris. Oleh karena itu, Akhmad Khan mengajak umat Islam India untuk bersikap loyal terhadap Inggris.
Satu di antara sakian banyak persoalan umat Islam India, adalah rendahnya mutu pendidikan. Menurutnya, mutu pendidika umat Islam harus ditingkatkan dengan menerapkan sistem modern yang cukup. Oleh karena itu, ia pertama kali mendirikan lembaga pendidikan modern. Lembaga pendidikan yang pertama kali didirikannya adalah Sekolah Inggris Muradabab pada tahun 1860 M. Pada tahun 1864 ia mendirikan Scientific Society untuk memperkenalkan sains Barat kepada rakyat India, khususnya umat Islam India. Pada tahun syang sama juga ia mendirikan sekolah Modern di Ghazipur, dan pada tahun 1868 ia membentuk Komite pendidikan di beberapa daerah di India Utara.[9]





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kami dapat mengambil beberapa catatan sebagai berikut;
1.      Adanya upaya pembaharuan pendidikan Islam tentu tidak bisa lepas dari lemahnya kondisi pendidikan Islam saat itu. Oleh karenanya, bagi kaum modernis, satu kelompok pembaharu yang lebih  simpatik dan banyak mengadopsi tata cara berpendapat bahwa Barat atau Eropalah satu-satunya kiblat yang bisa dijadikan referensi demi perbaikan sistem pendidikan Islam.
2.      Apa yang telah dilakukan pada pembaharu di zaman klasik sebut saja Sultan Ahmad III, Sultal Mahmud II, Muhammad Ali Pasya, Muhammad Abduh, dan Sayyid Akhmad Khan demi kemjuan Islam, merupakan wacana yang harus kita kembangkan dan kita kaji secara terus-menerus.
3.      Upaya pembaharuan pendidikan Islam yang telah dilakukan para tokoh-tokoh di atasa, sesungguhnya lebih ditujukan kepada sasaran pendidikan yang tentu disesuaikan dengan ide pembaharuan merekan.
                                   







DAFTAR PUSTAKA

Amien Rais, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung, 1994

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintangn Jakarta, 1982

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintangn, Jakarta, 1982


John L. Esposito (ed.), Dinamika Kebangkitan Islam, Rajawali Press, Jakarta,1987

Suwito Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, 2005

Todh Siler, Buku Berfikir ala Einstein: Seratus Kiat Menjadi Orang Genius, 2001

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992











 

Tugas Kelompok:
MASA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata kuliah : Sejarah Pendidikan Islam
Dosen: Asmawati, M. Pd


Oleh :
David
M. Raya Akbar
Rayawati
Rusna Mawaddah


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PALANGKA RAYA TARBIYAH/PAI
TAHUN 2011 M/ 1432 H

BAB I
PENDAHULUAN
Kata Pengantar
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena penyusunan makalah ini dapat diselesaikan, dengan harapan  makalah ini dapat membantu proses pembelajaran.
Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada keharibaan junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, karena berkat bimbingan beliaulah kita sekarang hidup dalam Iman dan Islam, sehingga kiranya kita dapat melanjutkan perjuangan risalah beliau hingga akkhir hayat.
Makalah ini disusun berkenaan dengan salah satu tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Dalam makalah ini penyusun akan membahas tentang masa pembaharuan pendidikan Islam. Kami tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang ikut terlibat membantu untuk kelancaran penyusunan makalah ini dan terimakasih pula kami ucapakan kepada Ibu Asmawati, M,Pd sebagai dosen pembimbing mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam, serta arahan dalam tekhnik penyusunan makalah ini.
Semoga apa yang telah kami kerjakan kiranya bermanfaat kepada kita semua, dan tak lupa pula kami sangat mengharapkan sarah dan kritik yang bersifat membangun, agar kami dapat melakukan perbaikan dalam penyusunan kedepan.

                                                                        Palangka Raya, Oktober 2011
                                                                                         Penyusun

 
 


[1] Amien Rais, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung, 1994, h.118-119

[2] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992,h. 116

[3][3] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintangn Jakarta, 1982, h. 17
[4] Suwito Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, 2005, h. 165

[5] Todh Siler, Buku Berfikir ala Einstein: Seratus Kiat Menjadi Orang Genius, 2001, h. 24

[7]  John L. Esposito (ed.), Dinamika Kebangkitan Islam, Rajawali Press, Jakarta,1987,h. 25-26
[8]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintangn, Jakarta, 1982, h. 17  
[9] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, h. 118-127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar