Pengertian Pendidikan dan Dewasa
Pendidikan
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia.
John Dewey menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah asatu kebutuhan, fungsi
sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan
serta membentuk disiplin hidup (Zakiah Darajat, 1983:1). Selanjutnya, Prof. Dr.
Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibany mendefinisikan pendidikan sebagai proses
mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam
sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi
diantara berbagai profesi asasi dalam masyarakat (Al-Syaibany, 1979:399).
Al-Syaibany melihat pendidikan adalah proses perubahan tingkah alau yang
terjadi pada diri individu, maupun masyarakat. Dengan demikian, pendidikan
bukanlah aktivitas dengan proses yang sekali jadi (instant).[1]
Dalam
bahasa Indonseia, dewasa diartikan sebagai sampai
umur;akil baliq. Sedangkan kedewasaan
diartikan sebagai hal atau keadaan telah
dewasa. Memang beberapa ahli pendidikan menganggap sukar untuk menetapkan
batas kedewasaan. Andi Mappiare mengemukakan alasan bahwa banyak sekali
tinjauan dari berbagai sudut pandang, dan secara psikologis saja sering berbeda
takarannya antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Batasan
yang agak umum dipakai orang mengenai kedewasaan adalah pendekatan psikologis,
yang mencirikan ketidak ketergantungan
pada orang lain sebagai ciri utama.
Meskipun demikian, hal itu sama sekali tidak menggambarkan ciri yang
harus dicapai berkaitan dengan pendidikan, melainkan hanya menjadi prasyarat
dalam usaha mencapai tujuan pendidikan secara umum mengenai pendidikan yang
mengisyaratkan kedewasaan sebagai tujuan yang hendak dicapai. Atau ada pula
batasan yang mengisyaratkan bahwa pendidiknya harus orang dewasa. Seperti bahwa
pendidikan adalah bimbingan secara sengaja dan sadar dari orang dewasa kepada
yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan.[2]
1.
Konsep dan Fase-fase
Dewasa
Dalam
studi psikologi perkembangan kontemporer atau yang lebih dikenal dengan istilah
perkembangan rentang hidup (life-span
development), wilayahnya pembahasannya tidak lagi terbatas pada perubahan
perkembangan selama masa anak-anak dan remaja saja, melainkan juga menjangkau
masa dewasa, menjadi tua, hingga meninggal dunia. Hal ini adalah karena
perkembangan tidak berakhir dengan tercapainya kematangan fisik. Sebaliknya,
perkembangan masa konsepsi berlanjut kemasa sesudah lahir, masa bayi anak-anak,
remaja, dewasa hingga menjadi tua. Perubahan-perubahan badaniyah yang terjadi
sepanjang hidup, mempengaruhi sikap, proses kognitif, dan perilaku individu.
Hal ini berarti bahwa permasalahan yangg harus dibatasi juga mengalami
perubahan dari waktu ke waktu sepanjang rentang kehidupan.
Seperti
halnya dengan remaja, untuk merumuskan sebuah definisi tentang kedewasaan
tidaklah mudah. Hal ini karena setiap kebudayaan berbeda-bda dalam menentukan
kapan seseorang mencapai status dewasa secara formal. Pada sebagian besar
kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas telah selesai
atau setidak-tidaknya sudah mendekati selesai dan apabila organ kelamin anak
telah mencapai kematangan serta mampu berproduksi. Dalam kebudayaan Amerika,
seorang anak dipandang belum mencapai status dewasa kalau dia belum mencapai
usia 20 tahun. Sementara itu dalam kebudayaan Indonesia, seseorang dianggap
resmi mencapai status dewasa apabila sudah menikah, meskipun usianya belum
mencapai21 tahun.[3]
Menurut
Havighurst (1953) dalam Andi Mappiare, tugas-tugas perkembangan fase dewasa
awal sebagai berikut diantaranya:
a. Memilih
teman bergaul
b. Mulai
bertanggung jawab sebagai warga negara secara layak
c. Mulai
bekerja dalam suatu jabatan
d. Memperoleh
kelompok sosial yang seirama dengan nilai-nilai pahamnya
e. Mulai
hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga,dll.[4]
2.
Konsep Dewasa dalam
Ilmu Pendidikan Islam
Jika
kata dewasa dalam bahasa indonesia dmaknai akil
baliq, maka konsep fiqh mengenai itu umumnya berkaitan dengan btas tuntutan
bagi yang berkatagori mukallaf untuk
wajib melaksanakan syariat Islam. Konsep mukallaf yang berarti orang yang
dikenai tuntutan kewajiban, merupakan batas kualitas tertentu yang dicapai
seseorang untuk mendapat beban kewajiban syari’at Islam. Batas itu akan
berkaitan dengan aspek-aspek yang banyak. Meliputu umur, ekonomi, fisik,
psikis, sosial, kemampuan, pengetahuan/ informasi, dll. Hal itu berkaitan
dengan kesanggupan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskan dan
dilakukannya, juga berkaitan dengan kesanggupan dan pengetahuannya.
Konsep
mukallaf ini lebih tepat sebagai
kedewasaan jika dimaknai sebagai sikap mandiri dalam arti sanggup bertanggung
jawab terhadap sendiri, memutuskan sendiri apa yang akan diperbuatnya dan
bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, maka
mukallaf memerlukan syarat aspek baliq tertentu. Kopsep balig , merupakan batasan kualitas aspek tertentu secara parsial
dan eksplisit, seperti baliq nikah. Konsep ini dapat diterapkan sebagai istilah
kedewasaan untuk aspek tertentu, seperti dewasa ekonomi, dewasa biologis, dll.
Tapi tidak bisa diterapkan secara total atau menyeluruh, sebab bisa terjadi ada
orang yang telah nikah tetapi belum balq secara ekonomis, atau ada orang yang
telah baliq 40 tahun (dewasa umurnya) tetapi pikirannya belum dewasa.
3.
Konsep dewasa dalam
tujuan Pendidikan Islam
Dengan
pengertian konsep kedewasaan seperti diatas, maka baliqh tertentu dalam
pendidikan Islam merupakan aspek yang diusahakan untuk dicapai secara bertahap,
sistematis, dan terpadu. Walaupun ada yang tumbuh secara alami, seperti dewasa
biologi (kelamin), namun pada umumnya harus dibimbing untuk mencapai
kesempurnaannya untuk mencapai insan kamil.
Secara
rinci tujuan-tujuannya bisa tertuang dalam konsep operasional sebagai berikut:
a) Kedewasaan
biologis, mampu berkembang biak secara sempurna, dan tahu aturan serta serta
cara pemeliharaannya, serta mampu mengendalikannya menurut ajaran Islam.
b) Kedewasaan
sosial dan berkeluarga, mampu berinteraksi dengan masyarakat umum dan lawan
jenis dikeluarga, serta berprilaku sosial berdasarkan ajaran Islam.
c) Kedewasaan
ekonomi, mampu mencari nafkah yang halal dan bisa menafkahkannya di jalan Allah
menurut ajaran Islam.
d) Kedewasaan
fisik, mampu memelihara kesehatan fisik dan kuat fisiknya, memelihara dan
menggunakannya berdasarkan ajaran Islam.
e) Kedewasaan
kecerdasan, mampu memeliahara akal pikirannya, dan menggunakannya untuk
kebajikan berdasarkan ajaran Islam.
f) Kedewasaan
usia, bijaksana karena menyerap ilmu dari pengalaman hidupnya yang panjang, dan
memanfaatkan ilmunya berdasarkan ajaran Islam.[5]
A.
Perbedaan Andragogi dan
Paedagogi
Paedagogi
berasal dari bahasa Yunani “paedagogia“ yang berarti pergaulan dengan
anak-anak. Sedang paedagogos ialah seorang pelayan pada jaman yunani kuno yang
pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak sekolah. Paedagagos berasal dari
kata “paid” yang artinya “anak” dan “agogos”yang artinya “memimpin atau
membimbing”. Dari kata ini maka lahir istilah paedagogi yang diartikan sebagai
suatu ilmu dan seni dalam mengajar anak-anak. Dan dalam perkembangan
selanjutnya istilah paedagogi berubah menjadi ilmu dan seni mengajar
Dalam
pengertian paedagogi seperti tersebut di atas, timbul pandangan yang
mengemukakan bahwa tujuan pendidikan itu bersifat mentransmisikan pengetahuan.
Kalau demikian, bagaimana dengan perubahan-perubahan yang terjadi, seperti
inovasi dalam teknologi, perubahan-perubahan dalam sistem ekonomi, politik dan
sebagainya, yang begitu cepat terjadi di jaman modern ini.
Untuk
menjawab tersebut di atas, maka ada teori pendidikan baru yang dikenal dengan
teori mengenai cara mengajar orang dewasa atau disebut dengan andragogi.
Andragogi berasal dari bahasa Yunani yaitu “andr” yang artinya orang dewasa,
dan “agogos” yang artinya membimbing atau memimpin. Dari arti kata tersebut,
berkembang pengertian bahwa andragogi adalah suatu ilmu dan seni dalam membantu
orang dewasa belajar.
Malcolm
Knowles menyatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang belajar selama ini
adalah merupakan kesimpulan dari berbagai kajian terhadap perilaku kanak-kanak
dan binatang percobaan tertentu. Pada umumnya memang, apa yang kita ketahui
kemudian tentang mengajar juga merupakan hasil kesimpulan dari pengalaman
mengajar terhadap anak-anak. Sebagian besar teori belajar-mengajar, didasarkan
pada perumusan konsep pendidikan sebagai suatu proses pengalihan kebudayaan.
Atas dasar teori-teori dan asumsi itulah kemudian tercetus istilah
"pedagogi" yang akar-akarnya berasal dari bahasa Yunani, paid berarti
kanak-kanak dan agogos berarti memimpin. Kemudian Pedagogi mengandung arti
memimpin anak-anak atau perdefinisi diartikan secara khusus sebagai "suatu
ilmu dan seni mengajar kanak-kanak". Akhirnya pedagogi kemudian
didefinisikan secara umum sebagai "ilmu dan seni mengajar".
Ada empat perbedaan mendasar, yaitu :
1. Citra diri
Citra diri
seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Pada saat
anak menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat
keputusan untuk dirinya sendiri. Perubahan dari citra ketergantungan kepada
orang lain menjadi citra mandiri.
Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat
kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah
mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak.
Oleh karena itu dibutuhkan seni mengajar
yang berbeda antara anak-anak dan dewasa. Dalam masa dewasa, seseorang sudah
dapat mengarahkan diri sendiri untuk belajar, sedangkan anakanak masih
membutuhkan guru untuk mengarahkan.
2. Pengalaman
Anak-anak
masih kurang dalam pengalaman, tidak seperti orang dewasa. Sehingga dalam
pendekatan paedagogi, pengalaman dialihkan dari pihak guru ke pihak murid.
Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan paedagogi dilaksanakan dengan
cara-cara komunikasi satu arah, seperti; ceramah, penguasaan kemampuan membaca
dan sebagainya.
Sedangkan pada andragogi, cara yang ditempuh
bersifat diskusi kelompok, simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam
proses seperti itu, maka semua peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber
belajar.
3. Kesiapan belajar
Dalam
pendekatan paedagogi, gurulah yang memutuskan isi pelajaran dan bertanggung
jawab terhadap proses pemilihannya, serta kapan waktu hal tersebut akan
diajarkan. Dalam pendekatan andragogi, peserta didiklah yang memutuskan apa
yang akan dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya sendiri. Guru sebagai fasilitator.
4. Arah belajar
Dalam
pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan masalah
ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu,
andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa
kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu
tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu pengalaman
kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada
saat ini. Untuk menemukan "dimana kita sekarang" dan "kemana
kita akan pergi", itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Maka
belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti "memecahkan masalah hari
ini", sedangkan pada pendekatan pedagogi, belajar itu justru merupakan proses
pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan suatu waktu
kelak.[6]
Kesimpulan
Pendidikan
orang dewasa adalah pendidikan yang diberikan, dilakukan kepada seseorang yang
telah memenuhi Fisik dan psikologis. Secara rinci tujuan-tujuannya bisa
tertuang dalam konsep operasional sebagai berikut:
a) Kedewasaan
biologis,
b) Kedewasaan
sosial dan berkeluarga,
c) Kedewasaan
ekonomi,
d) Kedewasaan
fisik,
e) Kedewasaan
kecerdasan, dan
f) Kedewasaan
usia.
Andragogi
adalah suatu ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar. Kemudian
Pedagogi mengandung arti memimpin anak-anak atau perdefinisi diartikan secara
khusus sebagai "suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak". Akhirnya
pedagogi kemudian didefinisikan secara umum sebagai "ilmu dan seni
mengajar".
Ada empat perbedaan mendasar, yaitu :
1. Citra
diri,
2. Pengalaman,
3. Kesiapan
belajar, dan
4. Arah
belajar.
[1]H. Jalaluddin, Teologi
Pendidikan, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), 67-76.
[2]A. Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam,
(Cibiru Bandung: Mimbar Pustaka,2004), 338-339
[3] Hamdanah, Psikologi
Perkembangan, (Malang: Setara Press, 2009), 147-148.
[4] Tohirin, Psikologi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),
36-37.
[5]A. Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, 340-343.
[6]http://1071ya.blogspot.com/2011/05/apa-perbedaan-antara-paedagogi-dan.html
(jum’at: 19 april 2013, pukul 14:11) oleh Liliyana Sari/ Sukadji, S. (2000).
Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sekolah. Depok: Lembaga Pengambangan Sarana
Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar