Kamis, 02 Mei 2013

Pengertian Pendidikan dan Dewasa
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah asatu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup (Zakiah Darajat, 1983:1). Selanjutnya, Prof. Dr. Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibany mendefinisikan pendidikan sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi diantara berbagai profesi asasi dalam masyarakat (Al-Syaibany, 1979:399). Al-Syaibany melihat pendidikan adalah proses perubahan tingkah alau yang terjadi pada diri individu, maupun masyarakat. Dengan demikian, pendidikan bukanlah aktivitas dengan proses yang sekali jadi (instant).[1]
Dalam bahasa Indonseia, dewasa diartikan sebagai sampai umur;akil baliq. Sedangkan kedewasaan diartikan sebagai hal atau keadaan telah dewasa. Memang beberapa ahli pendidikan menganggap sukar untuk menetapkan batas kedewasaan. Andi Mappiare mengemukakan alasan bahwa banyak sekali tinjauan dari berbagai sudut pandang, dan secara psikologis saja sering berbeda takarannya antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Batasan yang agak umum dipakai orang mengenai kedewasaan adalah pendekatan psikologis, yang mencirikan ketidak ketergantungan pada orang lain sebagai ciri utama.  Meskipun demikian, hal itu sama sekali tidak menggambarkan ciri yang harus dicapai berkaitan dengan pendidikan, melainkan hanya menjadi prasyarat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan secara umum mengenai pendidikan yang mengisyaratkan kedewasaan sebagai tujuan yang hendak dicapai. Atau ada pula batasan yang mengisyaratkan bahwa pendidiknya harus orang dewasa. Seperti bahwa pendidikan adalah bimbingan secara sengaja dan sadar dari orang dewasa kepada yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan.[2]
1.      Konsep dan Fase-fase Dewasa
Dalam studi psikologi perkembangan kontemporer atau yang lebih dikenal dengan istilah perkembangan rentang hidup (life-span development), wilayahnya pembahasannya tidak lagi terbatas pada perubahan perkembangan selama masa anak-anak dan remaja saja, melainkan juga menjangkau masa dewasa, menjadi tua, hingga meninggal dunia. Hal ini adalah karena perkembangan tidak berakhir dengan tercapainya kematangan fisik. Sebaliknya, perkembangan masa konsepsi berlanjut kemasa sesudah lahir, masa bayi anak-anak, remaja, dewasa hingga menjadi tua. Perubahan-perubahan badaniyah yang terjadi sepanjang hidup, mempengaruhi sikap, proses kognitif, dan perilaku individu. Hal ini berarti bahwa permasalahan yangg harus dibatasi juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu sepanjang rentang kehidupan.
Seperti halnya dengan remaja, untuk merumuskan sebuah definisi tentang kedewasaan tidaklah mudah. Hal ini karena setiap kebudayaan berbeda-bda dalam menentukan kapan seseorang mencapai status dewasa secara formal. Pada sebagian besar kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas telah selesai atau setidak-tidaknya sudah mendekati selesai dan apabila organ kelamin anak telah mencapai kematangan serta mampu berproduksi. Dalam kebudayaan Amerika, seorang anak dipandang belum mencapai status dewasa kalau dia belum mencapai usia 20 tahun. Sementara itu dalam kebudayaan Indonesia, seseorang dianggap resmi mencapai status dewasa apabila sudah menikah, meskipun usianya belum mencapai21 tahun.[3]
Menurut Havighurst (1953) dalam Andi Mappiare, tugas-tugas perkembangan fase dewasa awal sebagai berikut diantaranya:
a.       Memilih teman bergaul
b.      Mulai bertanggung jawab sebagai warga negara secara layak
c.       Mulai bekerja dalam suatu jabatan
d.      Memperoleh kelompok sosial yang seirama dengan nilai-nilai pahamnya
e.       Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga,dll.[4]
2.      Konsep Dewasa dalam Ilmu Pendidikan Islam
Jika kata dewasa dalam bahasa indonesia dmaknai akil baliq, maka konsep fiqh mengenai itu umumnya berkaitan dengan btas tuntutan bagi yang berkatagori mukallaf untuk wajib melaksanakan syariat Islam. Konsep mukallaf yang berarti orang yang dikenai tuntutan kewajiban, merupakan batas kualitas tertentu yang dicapai seseorang untuk mendapat beban kewajiban syari’at Islam. Batas itu akan berkaitan dengan aspek-aspek yang banyak. Meliputu umur, ekonomi, fisik, psikis, sosial, kemampuan, pengetahuan/ informasi, dll. Hal itu berkaitan dengan kesanggupan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskan dan dilakukannya, juga berkaitan dengan kesanggupan dan pengetahuannya.
Konsep mukallaf ini lebih tepat sebagai kedewasaan jika dimaknai sebagai sikap mandiri dalam arti sanggup bertanggung jawab terhadap sendiri, memutuskan sendiri apa yang akan diperbuatnya dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, maka mukallaf memerlukan syarat aspek baliq tertentu. Kopsep balig , merupakan batasan kualitas aspek tertentu secara parsial dan eksplisit, seperti baliq nikah. Konsep ini dapat diterapkan sebagai istilah kedewasaan untuk aspek tertentu, seperti dewasa ekonomi, dewasa biologis, dll. Tapi tidak bisa diterapkan secara total atau menyeluruh, sebab bisa terjadi ada orang yang telah nikah tetapi belum balq secara ekonomis, atau ada orang yang telah baliq 40 tahun (dewasa umurnya) tetapi pikirannya belum dewasa.
3.      Konsep dewasa dalam tujuan Pendidikan Islam
Dengan pengertian konsep kedewasaan seperti diatas, maka baliqh tertentu dalam pendidikan Islam merupakan aspek yang diusahakan untuk dicapai secara bertahap, sistematis, dan terpadu. Walaupun ada yang tumbuh secara alami, seperti dewasa biologi (kelamin), namun pada umumnya harus dibimbing untuk mencapai kesempurnaannya untuk mencapai insan kamil.
Secara rinci tujuan-tujuannya bisa tertuang dalam konsep operasional sebagai berikut:
a)      Kedewasaan biologis, mampu berkembang biak secara sempurna, dan tahu aturan serta serta cara pemeliharaannya, serta mampu mengendalikannya menurut ajaran Islam.
b)      Kedewasaan sosial dan berkeluarga, mampu berinteraksi dengan masyarakat umum dan lawan jenis dikeluarga, serta berprilaku sosial berdasarkan ajaran Islam.
c)      Kedewasaan ekonomi, mampu mencari nafkah yang halal dan bisa menafkahkannya di jalan Allah menurut ajaran Islam.
d)     Kedewasaan fisik, mampu memelihara kesehatan fisik dan kuat fisiknya, memelihara dan menggunakannya berdasarkan ajaran Islam.
e)      Kedewasaan kecerdasan, mampu memeliahara akal pikirannya, dan menggunakannya untuk kebajikan berdasarkan ajaran Islam.
f)       Kedewasaan usia, bijaksana karena menyerap ilmu dari pengalaman hidupnya yang panjang, dan memanfaatkan ilmunya berdasarkan ajaran Islam.[5]

A.    Perbedaan Andragogi dan Paedagogi
Paedagogi berasal dari bahasa Yunani “paedagogia“ yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Sedang paedagogos ialah seorang pelayan pada jaman yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak sekolah. Paedagagos berasal dari kata “paid” yang artinya “anak” dan “agogos”yang artinya “memimpin atau membimbing”. Dari kata ini maka lahir istilah paedagogi yang diartikan sebagai suatu ilmu dan seni dalam mengajar anak-anak. Dan dalam perkembangan selanjutnya istilah paedagogi berubah menjadi ilmu dan seni mengajar
Dalam pengertian paedagogi seperti tersebut di atas, timbul pandangan yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan itu bersifat mentransmisikan pengetahuan. Kalau demikian, bagaimana dengan perubahan-perubahan yang terjadi, seperti inovasi dalam teknologi, perubahan-perubahan dalam sistem ekonomi, politik dan sebagainya, yang begitu cepat terjadi di jaman modern ini.
Untuk menjawab tersebut di atas, maka ada teori pendidikan baru yang dikenal dengan teori mengenai cara mengajar orang dewasa atau disebut dengan andragogi. Andragogi berasal dari bahasa Yunani yaitu “andr” yang artinya orang dewasa, dan “agogos” yang artinya membimbing atau memimpin. Dari arti kata tersebut, berkembang pengertian bahwa andragogi adalah suatu ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar.
Malcolm Knowles menyatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang belajar selama ini adalah merupakan kesimpulan dari berbagai kajian terhadap perilaku kanak-kanak dan binatang percobaan tertentu. Pada umumnya memang, apa yang kita ketahui kemudian tentang mengajar juga merupakan hasil kesimpulan dari pengalaman mengajar terhadap anak-anak. Sebagian besar teori belajar-mengajar, didasarkan pada perumusan konsep pendidikan sebagai suatu proses pengalihan kebudayaan. Atas dasar teori-teori dan asumsi itulah kemudian tercetus istilah "pedagogi" yang akar-akarnya berasal dari bahasa Yunani, paid berarti kanak-kanak dan agogos berarti memimpin. Kemudian Pedagogi mengandung arti memimpin anak-anak atau perdefinisi diartikan secara khusus sebagai "suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak". Akhirnya pedagogi kemudian didefinisikan secara umum sebagai "ilmu dan seni mengajar".

       Ada empat perbedaan mendasar, yaitu :
1.   Citra diri
Citra diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Pada saat anak menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Perubahan dari citra ketergantungan kepada orang lain menjadi citra mandiri.
     Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak.
     Oleh karena itu dibutuhkan seni mengajar yang berbeda antara anak-anak dan dewasa. Dalam masa dewasa, seseorang sudah dapat mengarahkan diri sendiri untuk belajar, sedangkan anakanak masih membutuhkan guru untuk mengarahkan.

2.  Pengalaman
Anak-anak masih kurang dalam pengalaman, tidak seperti orang dewasa. Sehingga dalam pendekatan paedagogi, pengalaman dialihkan dari pihak guru ke pihak murid. Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan paedagogi dilaksanakan dengan cara-cara komunikasi satu arah, seperti; ceramah, penguasaan kemampuan membaca dan sebagainya.
  Sedangkan pada andragogi, cara yang ditempuh bersifat diskusi kelompok, simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam proses seperti itu, maka semua peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber belajar.

3.  Kesiapan belajar
Dalam pendekatan paedagogi, gurulah yang memutuskan isi pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses pemilihannya, serta kapan waktu hal tersebut akan diajarkan. Dalam pendekatan andragogi, peserta didiklah yang memutuskan apa yang akan dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya sendiri. Guru sebagai fasilitator.




4.  Arah belajar
Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan masalah ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu, andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu pengalaman kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada saat ini. Untuk menemukan "dimana kita sekarang" dan "kemana kita akan pergi", itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Maka belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti "memecahkan masalah hari ini", sedangkan pada pendekatan pedagogi, belajar itu justru merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan suatu waktu kelak.[6]
Kesimpulan
Pendidikan orang dewasa adalah pendidikan yang diberikan, dilakukan kepada seseorang yang telah memenuhi Fisik dan psikologis. Secara rinci tujuan-tujuannya bisa tertuang dalam konsep operasional sebagai berikut:
a)      Kedewasaan biologis,
b)      Kedewasaan sosial dan berkeluarga,
c)      Kedewasaan ekonomi,
d)     Kedewasaan fisik,
e)      Kedewasaan kecerdasan, dan
f)       Kedewasaan usia.
Andragogi adalah suatu ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar. Kemudian Pedagogi mengandung arti memimpin anak-anak atau perdefinisi diartikan secara khusus sebagai "suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak". Akhirnya pedagogi kemudian didefinisikan secara umum sebagai "ilmu dan seni mengajar".
       Ada empat perbedaan mendasar, yaitu :
1.      Citra diri,
2.      Pengalaman,
3.      Kesiapan belajar, dan
4.      Arah belajar.


[1]H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), 67-76.
[2]A. Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, (Cibiru Bandung: Mimbar Pustaka,2004), 338-339
[3] Hamdanah, Psikologi Perkembangan, (Malang: Setara Press, 2009), 147-148.
[4] Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),  36-37.
[5]A. Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, 340-343.
[6]http://1071ya.blogspot.com/2011/05/apa-perbedaan-antara-paedagogi-dan.html (jum’at: 19 april 2013, pukul 14:11) oleh Liliyana Sari/ Sukadji, S. (2000). Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sekolah. Depok: Lembaga Pengambangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar