Jumat, 06 Desember 2013





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di permukaan bumi.
Dalam lintas sejarah, pertumbuhan lembaga pendidikan Islam pada masa awal, sejak lahirnya Islam sampai sebelum munculnya madrasah pada penghujung abad ke 3 H atau awal ke 4 H, telah mengalami proses yang panjang dan sangat menarik untuk dikaji. Hal ini disebabkan karena lembaga ini tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan budaya jahiliyah yang mayoritas buta huruf dan kurang tertarik untuk mengembangkan pendidikan. Namun dengan kedatangan Islam, melalui wahyu pertamanya, telah menimbulkan kekuatan besar bagi umat Islam khususnya dan masyarakat Arab pada umumnya, untuk melakukan proses pendidikan.
Pada makalah ini akan lebih dibahas lagi masalah “Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam?
2.      Bagaimana masuk dan berkembangnya Islam masa permulaan?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam.
2.      Untuk mengetahui masuk dan berkembangnya Islam masa permulaan.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam
Pada masa pembinaannya yang berlangsung pada zaman Nabi Muhammad Saw, Pendidikan Islam berarti memasukkan ajaran Islam ke dalam unsur-unsur budaya bangsa Arab pada masa itu, sehingga diwarnai oleh Islam. Dalam pembinaan tersebut, ada beberapa kemugkinan yang terjadi yaitu:
1.      Adakalanya Islam mendatangkan sesuatu unsur yang sifatnya memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada, seperti Al-Qur’an.
2.      Adakalanya Islam mendatangkan sesuatu ajaran yang sifatnya meluruskan kembali nilai-nilai yang ada dalam kenyataan praktisnya sudah menyimpang dari ajaran aslinya.
3.      Adakalanya Islam mendatangkan ajaran yang sifatnya bertentangan sama sekali dengan budaya yang ada sebelumnya.
4.      Budaya yang telah ada dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, pada umumnya dibiarkan tetap berlaku dan berkembang dengan mendapatkan pengarahan-pengarahan seperlunya.
5.      Islam mendatangkan ajaran baru yang belum ada sebelumnya, untuk meningkatkan perkembangan budayanya.
Dengan demikian, terbentuklah setting nilai dan budaya Islami yang lengkap dan sempurna dalam ruang lingkupnya yang sepadan, baik dari segi situasi dan kondisi maupun waktu dan perkembangan zamannya. Jadi Pendidikan Islam, pada masa pertumbuhan dan perkembangannya, juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran, yaitu generasi muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam. Untuk sasaran kedua, yaitu penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islam. Sedangkan dalam artinya yang pertama, yaitu pewarisan ajaran Islam kepada generasi penerus disebut sebagai pendidikan Islam.[1]
Suatu peristiwa penting  dalam Sejarah Pendidikan Islam di masa setelah Nabi Muhammad saw wafat adalah peristiwa pemberontakan dari orang-orang murtad yang enggan membayar zakat, serta timbulnya nabi-nabi palsu pada awal kekhalifahan Abu Bakar. Pra pemberontak tersebut adalah dari kalangan orang-orang yang baru masuk Islam, dan dengan sendirinya mereka belum mantap keislamannya. Mereka masih perlu mendapatkan bimbingan lebih lanjut dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam.
1)   Pusat-pusat pendidikan Islam
Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, menerangkan bahwa pusat-pusat pendidikan tersebut tersebar di kota-kota besar sebagai berikut:
a)    Di kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
b)   Di kota Basrah dan Kufah (Irak)
c)    Di kota Damsyik dan Palestina (Syam)
d)   Di kota Fistat (Mesir)
Di pusat-pusat pendidikan tersebut, para sahabat memberikan pelajaran Agama Islam kepada muridnya, baik yang dari penduduk setempat maupun yang datang dari daerah lain. Di pusat-pusat Pendidikan Islam tersebut timbullah madrasah-madrasah, yang masih merupakan sekedar tempat memberikan pelajaran dalam bentuk khalaqah di masjid atau tempat pertemuan lainnya. Madrasah-madrasah  yang terkenal pada masa pertumbuhan pendidikan Islam ini adalah Madrasah Makkah, Madrasah Madinah, Madrasah Basrah, Madrasah Kufah, Madrasah Damsyik, dan Madrasah Fistat.[2]
2)   Pengajaran Al-Qur’an
Intisari ajaran Islam adalah apa yang termaktub dalam Al-Qur’an. Sedangkan Hadis ataupun Sunnah Rasulullah merupakan penjelasan dari apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.
Nabi Muhammad SAW telah dengan sempurna menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabat, dan telah dengan sempurna pula memberikan penjelasan-penjelasan menurut keperluannya pada masa itu. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sumber pengajaran Al-Qur’an adalah para sahabat. Mereka bertanggung jawab untuk mengajarkan Al-Qur’an memberikan penjelasan dan pengertian yang dikandung oleh Al-Qur’an agar dimengerti oleh orang-orang yang baru masuk Islam dengan memberikan contoh tentang cara mempraktekkan ajaran Al-Qur’an tersebut dalam kehidupan sehari-hari.[3]
Problema pertama yang dihadapi oleh para sahabat dalam pengajaran Al-Qur’an adalah menyangkut Al-Qur’an itu sendiri pada masa itu. Al-Qur’an secara lengkap dan sempurna  ada dalam hafalan umumnya para sahabat, tetapi tentunya tidak semua sahabat hafal sepenuhnya Al-Qur’an. Di samping itu Al-Qur’an masih dalam bentuk tulisan-tulisan yang berserakan, yaitu yang ditulis oleh para sahabat yang pandai menulis atau perintah Nabi Muhammad saw selam proses penurunan Al-Qur’an. Problema yang kemudian muncul dalam pengajaran Al-Qur’an adalah masalah pembacaan (qiraat). Al-Qur’an adalah bacaan dalam bahasa Arab. Jadi, mereka yang tidak berbahasa Arab harus menyesuaikan lidahnya dengan lidah orang Arab. Hal ini memerlukan proses dan waktu, menuntut ketekunan dan kesabaran dari  para sahabat dan para pengajar Al-Qur’an. oleh karena itu pengajaran Al-Qur’an tersebut selalu dibarengi dengan pengajaran bahasa Arab secara sederhana.
Untuk memudahkan pengajaran Al-Qur’an bagi kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab, maka guru Al-Qur’an telah mengusahakan antara lain:
a)    Mengembangkan cara membaca Al-Qur’an dengan baik yang kemudian menimbulkan ilmu Tajwid Al-Qur’an.
b)   Meneliti cara pembacaan Al-Qur’an (qiraat) yang telah berkembang pada masa itu, mana-mana yang sah dan sesuai dengan bacaan yang tertulis dalam mushaf, dan nama-nama yang tidak sah.
c)    Memberikan tanda-tanda baca dalam tulisan mushaf sehingga menjadi mudah dibaca dengan benar bagi mereka yang baru belajar membaca Al-Qur’an.
d)   Memberikan tanda penjelasan tentang maksud dan pengertian yang terkandung oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang diajarkan yang kemudiannya berkembang menjadi ilmu Tafsir.[4]
3)   Pertumbuhan dan Perkembangan kebudayaan Islam
Pada garis besarnya pemikiran Islam dalam pertumbuhannya muncul dalam tiga pola, yaitu:
a)    Pola pemikiran yang bersifat skolastik, yang terikat pada dogma-dogma dan berfikir dalam rangka mencari pembenaran terhadap dogma-dogma agama.
b)   Pola pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran.
c)    Pola pemikiran yang bersifat batiniyah dan intuitif, yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufitis.
Dari uraian tersebut, Nampak bahwa keluasan wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya bangsa-bangsa yang memeluknya telah menjadi semakin luas pula lingkup perkembangannya kebudayaan Islam.[5]
B.     Masuk dan berkembangnya Islam pada masa permulaan
Sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M/ I H. tetapi baru meluas pada abad ke-13 M. Perluasan Islam ditandai berdirinya kerajaan Islam tertua di Indonesia, seperti Perlak dan Samudera Pasai di Aceh pada tahun 1292 dan tahun 1297. Melalui pusat-pusat perdagangan di Malaka, agama Islam kemudian menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian Timur. Walaupun disana ada peperangan, tetapi Islam masuk ke Indonesia dan peralihan agama Hindu ke Islam, secara umum berlangsung dengan damai.[6]
Sementara itu Fachry Ali dan Bachtiar Effendy menguraikan, setidak-tidaknya terdapat tiga faktor utama yang ikut mempercepat proses penyebaran pendidikan Islam di Indonesia, yaitu:
1)   Karena ajaran Islam melaksanakan prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya, suatu prinsip yang secara tegas menekankan ajaran untuk mempercayai Tuhan Yang Maha Tunggal
2)   Karena daya lentur (fleksibilitas) ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai yang universal.
3)   Pada gilirannya nanti, Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh Barat yang melalui kekuasaan-kekuasaan bangsa Portugis kemudian Belanda, mengobarkan penjajah dan menyebarkan agama Kristen.
Prof. Mahmud Yunus lebih memperinci tentang faktor-faktor mengapa agama Islam dapat tersebar dengan cepat di seluruh Indonesia pada masa permulaan, yaitu:
1)   Agama Islam tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah diturut oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk Islam cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja.
2)   Sedikit tugas dan kewajiban Islam.
3)   Penyiaran Islam dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
4)   Penyiaran agama Islam dilakukan dengan cara kebijaksanaan dan cara yang sebaik-baiknya.
5)   Penyiaran Islam itu dilakukan dengan perkataan yang mudah  dipahami umum, dapat mengerti oleh golongan bawah sampai ke golongan atas, yang sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw yang maksudnya: Berbicaralah kamuu dengan manusia menurut kadar akal mereka.
Tentang proses pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam yang pertama melalui bermacam-macam kontak, misalnya: kontak jual beli, kontak perkawinan dak kontak dakwah langsung, baik secara individual maupun kolektif.
Penganjur-penganjur Islam yang mula-mula mengembangkan agama Islam (Pendidikan Islam) adalah dengan cara berangsur-angsur dan mudah, sedikit demi sedikit, pendeknya bila seseorang mengucapkan dua kalimah syahadat, mengakui rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima, telah dianggap sebagai seorang muslim. Kemudian setelah itu barulah diperkenalkan bagaimana cara-cara melaksanakan shalat lima waktu, diajarkan membaca Al-Qur’an dan seterusnya.
1)   Sistem Pendidikan Langgar
Pendidikan agama islam di langgar bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci Al-Qur’an.
Pengajian Al-Qur’an pada pendidikan langgar dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.    Tingkatan rendah, merupakan tingkat pemula: yaitu mulai mengenal huruf Al-Qur’an sampai bisa membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampung, dan anak-anak hanya belajar pada malam hari dan pagi hari sesudah shalat subuh.
2.    Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut diatas ditambah lagi dengan pelajaran lagu, qasidah, barzanji, tajwid serta mengaji kitab perukunan.
Adapun tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah agar anak didik dapat membaca Al-Qur’an dengan berirama dan baik, dan tidak dirasakan keperluan untuk memahami isinya. Jadi dalam hal ini hanya sebatas agar anak mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan tentang pemahaman akan isi dan makna Al-Qur’an tersebut. Mengenai metode penyampaian materi pada pendidikan langgar memakai dua sistem yaitu sistem soragan, dan sistem halaqah.[7]
2)   Sistem pendidikan Pesantren
Di Indonesia, istilah Kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondok pesantren”, yaitu suatu lembaga pendidikan Islam, yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri.[8]
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mepunyai sejarah panjang dan unik. Secara historis, pesantren termasuk pendidikan Islam yang paling awal dan masih bertahan sampai sekarang. Berbeda dengan lembaga pendidikan yang muncul kemudian, pesantren telah sangat berjasa dalam mencetak kader-kader ulama, dan kemudian berperan aktif dalam penyebaran agama Islam dan transfer ilmu pengetahuan.
Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren sebagai lambang pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitas pun mendapat dukungan dan appresiasi dari masyarakat sekitarnya.[9]
Sebagai lembaga Pendidikan Islam yang termasuk tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu:
1). Metode wetonan (halaqah)
Metode yang didalamnya terdapat seorang kiai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.
2). Metode sorongan
Metode yang santrinya cukup pandai men “Sorog” kan 9mengajukan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapannya. Kesalahan dalam bacaan itu langsung dibenarkan oleh kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.
Sebagai karakteristik khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu agama, misalnya hukum Islam, tasawuf, tarikh dan retorika. Dengan sistem pondok pesantren tumbuh dan berkembang dimana-mana, yang ternyata mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha mempertahankan eksistensi umat Islam dari serangan dan penindasan fisik dan mental kaum penjajah beberapa abad lamanya.[10

BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Pendidikan Islam, pada masa pertumbuhan dan perkembangannya, juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran, yaitu generasi muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam. Untuk sasaran kedua, yaitu penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islam.
Pada garis besarnya pemikiran Islam dalam pertumbuhannya muncul dalam tiga pola, yaitu:
1.    Pola pemikiran yang bersifat skolastik, yang terikat pada dogma-dogma dan berfikir dalam rangka mencari pembenaran terhadap dogma-dogma agama.
2.    Pola pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran.
3.    Pola pemikiran yang bersifat batiniyah dan intuitif, yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufitis.
Dari uraian tersebut, Nampak bahwa keluasan wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya bangsa-bangsa yang memeluknya telah menjadi semakin luas pula lingkup perkembangannya kebudayaan Islam.
Penganjur-penganjur Islam yang mula-mula mengembangkan agama Islam (Pendidikan Islam) adalah dengan cara berangsur-angsur dan mudah, sedikit demi sedikit, pendeknya bila seseorang mengucapkan dua kalimah syahadat, mengakui rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima, telah dianggap sebagai seorang muslim. Kemudian setelah itu barulah diperkenalkan bagaimana cara-cara melaksanakan shalat lima waktu, diajarkan membaca Al-Qur’an dan seterusnya.
a.         Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan, maka dari itu pembaca di mohon kritik dan sarannya yang membangun agar makalah penulis yang selanjutnya akan lebih baik lagi. Selain itu, dengan adanya makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.


[1] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, h. 67-70.
[2] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam, h. 70-74.
[4] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam, h. 80-81.
[5] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam, h. 86-87.
[6] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996, h. 17.
[7] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, h. 21-23.
[8] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h.28.
[9] Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001, h.100-101.
[10] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia , h.26-27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar