BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah
dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di permukaan
bumi.
Dalam lintas sejarah, pertumbuhan lembaga pendidikan Islam pada
masa awal, sejak lahirnya Islam sampai sebelum munculnya madrasah pada
penghujung abad ke 3 H atau awal ke 4 H, telah mengalami proses yang panjang
dan sangat menarik untuk dikaji. Hal ini disebabkan karena lembaga ini tumbuh
dan berkembang di tengah kehidupan budaya jahiliyah yang mayoritas buta huruf
dan kurang tertarik untuk mengembangkan pendidikan. Namun dengan kedatangan
Islam, melalui wahyu pertamanya, telah menimbulkan kekuatan besar bagi umat
Islam khususnya dan masyarakat Arab pada umumnya, untuk melakukan proses
pendidikan.
Pada makalah ini akan lebih dibahas lagi masalah “Pertumbuhan
dan Perkembangan Pendidikan Islam”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam?
2.
Bagaimana
masuk dan berkembangnya Islam masa permulaan?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam.
2.
Untuk
mengetahui masuk dan berkembangnya Islam masa permulaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam
Pada masa pembinaannya yang berlangsung pada zaman Nabi Muhammad
Saw, Pendidikan Islam berarti memasukkan ajaran Islam ke dalam unsur-unsur
budaya bangsa Arab pada masa itu, sehingga diwarnai oleh Islam. Dalam pembinaan
tersebut, ada beberapa kemugkinan yang terjadi yaitu:
1.
Adakalanya
Islam mendatangkan sesuatu unsur yang sifatnya memperkaya dan melengkapi unsur
budaya yang telah ada, seperti Al-Qur’an.
2.
Adakalanya
Islam mendatangkan sesuatu ajaran yang sifatnya meluruskan kembali nilai-nilai
yang ada dalam kenyataan praktisnya sudah menyimpang dari ajaran aslinya.
3.
Adakalanya
Islam mendatangkan ajaran yang sifatnya bertentangan sama sekali dengan budaya
yang ada sebelumnya.
4.
Budaya
yang telah ada dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, pada umumnya
dibiarkan tetap berlaku dan berkembang dengan mendapatkan pengarahan-pengarahan
seperlunya.
5.
Islam
mendatangkan ajaran baru yang belum ada sebelumnya, untuk meningkatkan
perkembangan budayanya.
Dengan
demikian, terbentuklah setting nilai dan budaya Islami yang lengkap dan
sempurna dalam ruang lingkupnya yang sepadan, baik dari segi situasi dan
kondisi maupun waktu dan perkembangan zamannya. Jadi Pendidikan Islam, pada
masa pertumbuhan dan perkembangannya, juga pada masa-masa berikutnya mempunyai
dua sasaran, yaitu generasi muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat
bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam. Untuk sasaran kedua, yaitu
penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa
yang baru menerimanya yang dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islam.
Sedangkan dalam artinya yang pertama, yaitu pewarisan ajaran Islam kepada
generasi penerus disebut sebagai pendidikan Islam.[1]
Suatu
peristiwa penting dalam Sejarah
Pendidikan Islam di masa setelah Nabi Muhammad saw wafat adalah peristiwa
pemberontakan dari orang-orang murtad yang enggan membayar zakat, serta timbulnya
nabi-nabi palsu pada awal kekhalifahan Abu Bakar. Pra pemberontak tersebut
adalah dari kalangan orang-orang yang baru masuk Islam, dan dengan sendirinya
mereka belum mantap keislamannya. Mereka masih perlu mendapatkan bimbingan
lebih lanjut dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam.
1)
Pusat-pusat
pendidikan Islam
Mahmud
Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, menerangkan bahwa
pusat-pusat pendidikan tersebut tersebar di kota-kota besar sebagai berikut:
a)
Di
kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
b)
Di
kota Basrah dan Kufah (Irak)
c)
Di
kota Damsyik dan Palestina (Syam)
d)
Di
kota Fistat (Mesir)
Di
pusat-pusat pendidikan tersebut, para sahabat memberikan pelajaran Agama Islam
kepada muridnya, baik yang dari penduduk setempat maupun yang datang dari
daerah lain. Di pusat-pusat Pendidikan Islam tersebut timbullah
madrasah-madrasah, yang masih merupakan sekedar tempat memberikan pelajaran
dalam bentuk khalaqah di masjid atau tempat pertemuan lainnya.
Madrasah-madrasah yang terkenal pada
masa pertumbuhan pendidikan Islam ini adalah Madrasah Makkah, Madrasah Madinah,
Madrasah Basrah, Madrasah Kufah, Madrasah Damsyik, dan Madrasah Fistat.[2]
2)
Pengajaran
Al-Qur’an
Intisari
ajaran Islam adalah apa yang termaktub dalam Al-Qur’an. Sedangkan Hadis ataupun
Sunnah Rasulullah merupakan penjelasan dari apa yang dimaksudkan oleh
Al-Qur’an.
Nabi
Muhammad SAW telah dengan sempurna menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabat,
dan telah dengan sempurna pula memberikan penjelasan-penjelasan menurut
keperluannya pada masa itu. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sumber pengajaran
Al-Qur’an adalah para sahabat. Mereka bertanggung jawab untuk mengajarkan
Al-Qur’an memberikan penjelasan dan pengertian yang dikandung oleh Al-Qur’an
agar dimengerti oleh orang-orang yang baru masuk Islam dengan memberikan contoh
tentang cara mempraktekkan ajaran Al-Qur’an tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.[3]
Problema
pertama yang dihadapi oleh para sahabat dalam pengajaran Al-Qur’an adalah
menyangkut Al-Qur’an itu sendiri pada masa itu. Al-Qur’an secara lengkap dan
sempurna ada dalam hafalan umumnya para
sahabat, tetapi tentunya tidak semua sahabat hafal sepenuhnya Al-Qur’an. Di
samping itu Al-Qur’an masih dalam bentuk tulisan-tulisan yang berserakan, yaitu
yang ditulis oleh para sahabat yang pandai menulis atau perintah Nabi Muhammad
saw selam proses penurunan Al-Qur’an. Problema yang kemudian muncul dalam
pengajaran Al-Qur’an adalah masalah pembacaan (qiraat). Al-Qur’an adalah bacaan
dalam bahasa Arab. Jadi, mereka yang tidak berbahasa Arab harus menyesuaikan
lidahnya dengan lidah orang Arab. Hal ini memerlukan proses dan waktu, menuntut
ketekunan dan kesabaran dari para
sahabat dan para pengajar Al-Qur’an. oleh karena itu pengajaran Al-Qur’an
tersebut selalu dibarengi dengan pengajaran bahasa Arab secara sederhana.
Untuk
memudahkan pengajaran Al-Qur’an bagi kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab,
maka guru Al-Qur’an telah mengusahakan antara lain:
a)
Mengembangkan
cara membaca Al-Qur’an dengan baik yang kemudian menimbulkan ilmu Tajwid
Al-Qur’an.
b)
Meneliti
cara pembacaan Al-Qur’an (qiraat) yang telah berkembang pada masa itu,
mana-mana yang sah dan sesuai dengan bacaan yang tertulis dalam mushaf, dan
nama-nama yang tidak sah.
c)
Memberikan
tanda-tanda baca dalam tulisan mushaf sehingga menjadi mudah dibaca dengan
benar bagi mereka yang baru belajar membaca Al-Qur’an.
d)
Memberikan
tanda penjelasan tentang maksud dan pengertian yang terkandung oleh ayat-ayat
Al-Qur’an yang diajarkan yang kemudiannya berkembang menjadi ilmu Tafsir.[4]
3)
Pertumbuhan
dan Perkembangan kebudayaan Islam
Pada
garis besarnya pemikiran Islam dalam pertumbuhannya muncul dalam tiga pola,
yaitu:
a)
Pola
pemikiran yang bersifat skolastik, yang terikat pada dogma-dogma dan berfikir
dalam rangka mencari pembenaran terhadap dogma-dogma agama.
b)
Pola
pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran.
c)
Pola
pemikiran yang bersifat batiniyah dan intuitif, yang berasal dari mereka yang
mempunyai pola kehidupan sufitis.
Dari
uraian tersebut, Nampak bahwa keluasan wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya
bangsa-bangsa yang memeluknya telah menjadi semakin luas pula lingkup
perkembangannya kebudayaan Islam.[5]
B.
Masuk dan berkembangnya Islam pada masa permulaan
Sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad
ke-7 M/ I H. tetapi baru meluas pada abad ke-13 M. Perluasan Islam ditandai
berdirinya kerajaan Islam tertua di Indonesia, seperti Perlak dan Samudera
Pasai di Aceh pada tahun 1292 dan tahun 1297. Melalui pusat-pusat perdagangan
di Malaka, agama Islam kemudian menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya ke
Indonesia bagian Timur. Walaupun disana ada peperangan, tetapi Islam masuk ke
Indonesia dan peralihan agama Hindu ke Islam, secara umum berlangsung dengan
damai.[6]
Sementara itu Fachry Ali dan Bachtiar Effendy menguraikan,
setidak-tidaknya terdapat tiga faktor utama yang ikut mempercepat proses
penyebaran pendidikan Islam di Indonesia, yaitu:
1)
Karena
ajaran Islam melaksanakan prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya, suatu
prinsip yang secara tegas menekankan ajaran untuk mempercayai Tuhan Yang Maha
Tunggal
2)
Karena
daya lentur (fleksibilitas) ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan
kodifikasi nilai-nilai yang universal.
3)
Pada
gilirannya nanti, Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap sebagai suatu
institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh
Barat yang melalui kekuasaan-kekuasaan bangsa Portugis kemudian Belanda,
mengobarkan penjajah dan menyebarkan agama Kristen.
Prof.
Mahmud Yunus lebih memperinci tentang faktor-faktor mengapa agama Islam dapat
tersebar dengan cepat di seluruh Indonesia pada masa permulaan, yaitu:
1)
Agama
Islam tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah
diturut oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk Islam cukup
dengan mengucap dua kalimah syahadat saja.
2)
Sedikit
tugas dan kewajiban Islam.
3)
Penyiaran
Islam dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
4)
Penyiaran
agama Islam dilakukan dengan cara kebijaksanaan dan cara yang sebaik-baiknya.
5)
Penyiaran
Islam itu dilakukan dengan perkataan yang mudah
dipahami umum, dapat mengerti oleh golongan bawah sampai ke golongan
atas, yang sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw yang maksudnya: Berbicaralah
kamuu dengan manusia menurut kadar akal mereka.
Tentang
proses pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam yang pertama melalui
bermacam-macam kontak, misalnya: kontak jual beli, kontak perkawinan dak kontak
dakwah langsung, baik secara individual maupun kolektif.
Penganjur-penganjur
Islam yang mula-mula mengembangkan agama Islam (Pendidikan Islam) adalah dengan
cara berangsur-angsur dan mudah, sedikit demi sedikit, pendeknya bila seseorang
mengucapkan dua kalimah syahadat, mengakui rukun iman yang enam dan rukun Islam
yang lima, telah dianggap sebagai seorang muslim. Kemudian setelah itu barulah
diperkenalkan bagaimana cara-cara melaksanakan shalat lima waktu, diajarkan
membaca Al-Qur’an dan seterusnya.
1)
Sistem
Pendidikan Langgar
Pendidikan agama islam di langgar bersifat elementer, dimulai
dengan mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyah) atau kadang-kadang langsung
mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci
Al-Qur’an.
Pengajian Al-Qur’an pada pendidikan langgar dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
1.
Tingkatan
rendah, merupakan tingkat pemula: yaitu mulai mengenal huruf Al-Qur’an sampai
bisa membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampung, dan anak-anak hanya belajar
pada malam hari dan pagi hari sesudah shalat subuh.
2.
Tingkatan
atas, pelajarannya selain tersebut diatas ditambah lagi dengan pelajaran lagu,
qasidah, barzanji, tajwid serta mengaji kitab perukunan.
Adapun
tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah agar anak didik dapat
membaca Al-Qur’an dengan berirama dan baik, dan tidak dirasakan keperluan untuk
memahami isinya. Jadi dalam hal ini hanya sebatas agar anak mampu membaca
Al-Qur’an dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan tentang pemahaman akan isi
dan makna Al-Qur’an tersebut. Mengenai metode penyampaian materi pada pendidikan
langgar memakai dua sistem yaitu sistem soragan, dan sistem halaqah.[7]
2)
Sistem
pendidikan Pesantren
Di Indonesia, istilah Kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondok
pesantren”, yaitu suatu lembaga pendidikan Islam, yang didalamnya terdapat
seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik)
dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut,
serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri.[8]
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mepunyai sejarah
panjang dan unik. Secara historis, pesantren termasuk pendidikan Islam yang
paling awal dan masih bertahan sampai sekarang. Berbeda dengan lembaga
pendidikan yang muncul kemudian, pesantren telah sangat berjasa dalam mencetak
kader-kader ulama, dan kemudian berperan aktif dalam penyebaran agama Islam dan
transfer ilmu pengetahuan.
Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena
itu, pesantren sebagai lambang pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis
dengan masyarakat sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat
tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitas pun mendapat
dukungan dan appresiasi dari masyarakat sekitarnya.[9]
Sebagai lembaga Pendidikan Islam yang termasuk tertua, sejarah
perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat
nonklasikal, yaitu:
1). Metode
wetonan (halaqah)
Metode yang
didalamnya terdapat seorang kiai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu,
sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan
menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji
secara kolektif.
2). Metode
sorongan
Metode yang
santrinya cukup pandai men “Sorog” kan 9mengajukan sebuah kitab kepada kiai
untuk dibaca dihadapannya. Kesalahan dalam bacaan itu langsung dibenarkan oleh
kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.
Sebagai karakteristik khusus dalam pondok pesantren adalah isi
kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu agama, misalnya hukum Islam, tasawuf,
tarikh dan retorika. Dengan sistem pondok pesantren tumbuh dan berkembang
dimana-mana, yang ternyata mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha mempertahankan
eksistensi umat Islam dari serangan dan penindasan fisik dan mental kaum
penjajah beberapa abad lamanya.[10
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan
Islam, pada masa pertumbuhan dan perkembangannya, juga pada masa-masa
berikutnya mempunyai dua sasaran, yaitu generasi muda (sebagai generasi
penerus) dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam. Untuk
sasaran kedua, yaitu penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam
masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang dalam Islam lazim disebut sebagai
dakwah Islam.
Pada
garis besarnya pemikiran Islam dalam pertumbuhannya muncul dalam tiga pola,
yaitu:
1.
Pola
pemikiran yang bersifat skolastik, yang terikat pada dogma-dogma dan berfikir
dalam rangka mencari pembenaran terhadap dogma-dogma agama.
2.
Pola
pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran.
3.
Pola
pemikiran yang bersifat batiniyah dan intuitif, yang berasal dari mereka yang
mempunyai pola kehidupan sufitis.
Dari
uraian tersebut, Nampak bahwa keluasan wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya
bangsa-bangsa yang memeluknya telah menjadi semakin luas pula lingkup
perkembangannya kebudayaan Islam.
Penganjur-penganjur
Islam yang mula-mula mengembangkan agama Islam (Pendidikan Islam) adalah dengan
cara berangsur-angsur dan mudah, sedikit demi sedikit, pendeknya bila seseorang
mengucapkan dua kalimah syahadat, mengakui rukun iman yang enam dan rukun Islam
yang lima, telah dianggap sebagai seorang muslim. Kemudian setelah itu barulah
diperkenalkan bagaimana cara-cara melaksanakan shalat lima waktu, diajarkan
membaca Al-Qur’an dan seterusnya.
a.
Saran
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini banyak kekurangan, maka dari itu pembaca di mohon kritik
dan sarannya yang membangun agar makalah penulis yang selanjutnya akan lebih
baik lagi. Selain itu, dengan adanya makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca.
[1]
Zuhairini, dkk.
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, h. 67-70.
[2]
Zuhairini, dkk.
Sejarah Pendidikan Islam, h. 70-74.
[3] http://harisalfirdaus.blogspot.com/2013/01/makalah-masa-pertubuhan-dan.html (Online, 20
Oktober 2013 Pukul 14.00 Wib).
[4]
Zuhairini, dkk.
Sejarah Pendidikan Islam, h. 80-81.
[5] Zuhairini, dkk.
Sejarah Pendidikan Islam, h. 86-87.
[6] Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996, h. 17.
[7] Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, h. 21-23.
[8]
Nurhayati
Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,
2009, h.28.
[9] Abuddin Nata, Sejarah
Pertumbuhan dan perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: Grasindo, 2001, h.100-101.
[10] Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia , h.26-27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar